TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Pendahuluan

Filsafat pendidikan kita di Indonesia tidak jelas, karena selama ini dalam setiap jenjang studi yang ada kita selalu belajar filsafat dari barat sebagai referensi untuk mengkritisi pendidikan di negara kita. Berdasarkan realitas dan kondisi seperti itu kita masih dianggap sebagai pemulung ilmu. Berangkat dari anggapan inilah kita coba bangun filsafat pendidikan sendiri. Walaupun di negara lain masih mengakui landasan filsafah bangsa kita adalah pancasila, tapi kenyataannya pendidikan di negara kita juga mengalami tambal sulam. Sekalipun demikian, kita tidak boleh putus asa, tetapi marilah kita coba kembangkan filsafat pendidikan barat yang ada itu ke dalam filsafat pendidikan kita. Makalah ini akan membahas tentang bagaimana hakekat dan tujuan filsafat pendidikan dalam pendidikan agama Kristen. Sebab selama ini filsafat pendidikan agama kristen belum di fahami dengan benar, dan bahkan para pembelajar kristenpun belum  atau tidak mengerti sama sekali filsafat Pendidikan Agama Kristen.

 

A. Pengetian Filsafat Pendidikan

Menurut The Liang Gie (2004: 61) filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup: (1) konsep-konsep pangkal, (2) anggapan-anggapan dasar, (3) asas-asas permulaan, (4) struktur-struktur teoritis, dan (5) ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Pengertian pendidikan sendiri adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam hal memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah sebagai dasar dalam bertindak, sebagai dasar dalam mengambil keputusan, untuk mengurangi salah faham dan konflik serta untuk bersip siaga untuk menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa mapun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusian universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, harmonis, organis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalan studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang terdiri atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup bangsa ”Pancasila” yang diabadikan demi kepentingan bangs dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0609/30/humaniora/2994243.htm)

 

B. Kegunaan Filsafat Pendidikan

Menurut Nasution (1982: 30-31)guna filsafat pendidikan adalah:

  1. filsafat pendidikan menentukan arah kemana anak-anak harus dibawah. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah yang di cita-citakan oleh masyarakat itu.
  2. dengan adanya tujuan pendidikan kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus kita capai, individu yang bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan kita.
  3. filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu.
  4. filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan. Segala usaha kita tidak terlepas-lepas, melainkan saling berhubungan, sehingga terdapat suatu kontinuitas dalam perkembangan dan kemajuan anak.
  5. tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya. Hingga manakah tujuan itu telah tercapai?
  6. tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Kita lebih bergiat mengajar dan mendidik anak kalau kita jelas melihat tujuannya.

 

C. Penting Seorang Guru PAK Memahami Filsafat Pendidikan.

Tugas Guru Pendidikan agama Kristen (PAK) yang memiliki misi membentuk akhlak dan moralitas anak peserta didik (Belandina, 2005: 21) Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang memang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan. Filsafat pendidikan mengambil persoalan dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menurut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains.

 Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat.

Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut-paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analitis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu sendiri. Filsafat pendidikan secara garis besarnya bukanlah filsafat umum atau filsafat murni tetapi merupakan filsafat khusus atau filsafat terapan. Apabila dilihat dari sudut karakteristik obyeknya, filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) filsafat umum atau filsafat murni, dan (2) filsafat khusus atau filsafat terapan.

Filsafat umum mempunyai obyek antara lain: (a) Hakikat kenyataan segala sesuatu (metafisika) yang termasuk di dalamnya, hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontology), kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmology), kenyataan tentang manusia (Humanology) dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi), (b) Hakikat mengetahui kenyataan, (c) Hakikat menyusun kesimpulan pengetahun tentang kenyataan (Logika), (d) Hakikat menilai kenyataan (Aksiologi), antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik atau jahat (Etika) serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika).

Filsafat khusus mempunyai obyek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang terpenting. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi dalam pendidikan. Ditinjau dari subtansinya atau isinya, ilmu pendidikan merupakan suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak didik yang diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka atau pendidikan memperhatikan keterbatasan dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam empat macam,yaitu: (1) Ontology ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan, (2) Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan, (3) Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan (4) Aksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk. (P.H. Hirst & R.S. Peters)

1. Filsafat sebagi proses (philosophy as process)

Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan kriteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.

Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.

 

2. Filsafat sebagai produk (philosophy as product)

Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsafat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final. (Charles & Hobert)

 

C. Filsafat Yang Mempengaruhi Pendidikan

1. Progresifisme.

Tokoh progresifisme adalah John Dewey, William James, Hans Vaihinger dan Ferdinand Schiller dan Georges Santayana. Tujuan progresifisme adalah meningkatkan masyarakat sosial demokratis. Pemikiran progresifisme: prograsifisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreatifitas, aktovitas, belajar ”naturalistik,” hasil belajar ”dunia nyata,” dan juga pengalaman teman sebaya.  Progresifisme dinamakan instrumentalis, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intellegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan,  dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.

Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi pada sifat dan hakekat anak didik sebagai manasia yang berkembang. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialiasi. Artinya disini sebagai rposes pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, diding pemisah antara masyarakat dan sekolah perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak perlu disekolah saja. Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitarnya. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat.

Menurut Prof. Zamroni, Ph.D dalam catatn kuliah filsafat pendidikan disimpulkan bahwa progresifisme menekankan pada : (a) Education based on needs and interests of students, (b) Students learn by doing as well as from textbooks, (c) Teaching through field trips and games, (d) Emphasis on natural and social sciences, (e) Experiential learning, and (f) Grouping by interest and abilities.

 

2. Parennialisme

Parennialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresifisme yang mengingkari supranatural. Parennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada dan bahwa pendidikan itu hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut.

Tujuan pendidikan menurut parennialisme adalah membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena kebenaran-kebenaran tersebut universal dan konstan, maka hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Beberapa pandangan tokoh parennialisme terhadap pendidikan :

1.      program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas dasar paham adanya nafsu, kemauan dan akal (Plato).

2.      perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (Aristoteles).

3.      pendidkan adalah menunutun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi efektif atau nyata (Thomas Aquinas).

(http://mirnaferdiyawaty-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/parennialism-e_26.html- dicopy minggu 26 Oktober 2008)

 

3. Essensialisme.

Tujuan essensialisme adalah meningkatkan intelektual individu, mendidikan peserta didik untuk menjadi kompeten. Dalam essensialiseme, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut, nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai yang essensial dan bersifat menuntun. Nilai dalam essensialisme adalah membantu peserta didik berfikir rasional, tidak terlalu berakar pada masa lalu, memperhatikan hal-hal yang kontemporer, memusatkan keunggulan, bukan kecukupan pemilikan nilai-nilai tradisional. Teori ini mementingkan mata pelajaran daripada proses.

4. Konstruksivisme.

Menurut faham konstruksivisme pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog dan lainnya melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseiorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. (http://massofa.wordpress.com/2008/01/15/peranan-filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-ilmu-pendidikan/.) Teori konstruksifisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Berdasarkan penjelasan dalam perkualiahan filsafat pendidikan dengan Prof Zamroni, Ph.D, konstruktifisme menekankan pada : (a) Centered on the learner, (b) Constant need to make sense of new information, (c) Scaffolding links new information, and (d) Student and Teacher constantly challenge assumptions.

D. Kebutuhan PAK Akan Filsafat Pendidikan

Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara almiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi ini akan dapat terwujud apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan, dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedewasaan yang yang bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah kedewasaan biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung jawab dan kesadaran normatif), atau kesemuanya. Persoalan ini adalah persoalan yang amat mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatis sebuah masyarakat. Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan agama Kristen merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan agama Kristen memerlukan filsafat. Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan agama Kristen akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalmaan maupun fakta faktual, dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru Pendidikan Agama Kristen, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan agama kristen. Seorang guru PAK perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat pendidikannya, karena tujuan pendidikan selalu berhubungan langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan. Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik filsafat yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Filsafat pendidikan Kristen haruslah minimal dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam pendidikan, sebagai berikut. 1. Apakah pendidikan itu? 2. Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan? 3. Apakah yang seharusnya dicapai dalam proses pendidikan? 4. Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang etrsirat dapat dicapai? Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut akan sangat tergantung dan akan ditentukan oleh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik secara individu maupun secara bersama-sama (masyarakat/ bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual, tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasaian tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk kehidupan individual maupun kehidupan sosial yang baik dan sempurna. Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain, filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi, peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk merealisasikan ide-ide ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan kepribadian

 

 

 

E. Teori Dan Pandangan Tentang Konsep Pendidikan

Noeng Muhadjir (2000: 21) menjelaskan beberapa teori pendidikan yaitu unfoldment theory, formal discipline theory, dan preparation theory. Menurut unfoldment theory tugas pendidikan adalah membuka atau mengeluarkan potensi laten diarahkan ke tujuan tertentu. Tujuan tersebut bukan sesuatu di luar subyek, melainkan sebagai potensi dalam subyek itu sendiri; dan tujuan tersebut tidak lain adalah tuntas atau sempurnanya aktualiasi potensi itu sendiri. Menurut formal discipline theory, hasil pendidikan haruslah berupa terbentuknya kemampuan yang dapat digunakan untuk mengerjakan hal-hal penting apapun. Asumsi yang mendasarinya adalah ada kemampuan yang bersifat umum yang dapat dioperasikan pada kasus-kasus spesifik manapun. Menurut preparation theory pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan subyek-didik untuk dapat melaksanakan tugas secara sempurna. Tugas pertama yang tampak oleh penganut teori ini adalah tugas sebagai orang dewasa. Secara kumulatif aktifitas pendidikan (sebagai obyek studi) meliputi: menuntun-melayani, mengeluarkan potensi laten, mengembangkan, membentuk, kemampuan umum, dan mempersiapkan.

Selain itu, ada beberapa pandangan tentang konsep pendidikan, antara lain:

1. Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).

Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.

2. Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)

Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.

3. Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)

Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya (P.H. Hirst & R.S. Peters).

F. Teologi Seorang Guru Pak Mempengaruhi Filsafat Pendidikan Dan Kinerjanya.

Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyaki-nan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pela-jari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.
Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:

a. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran.

Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.

b. Keyakinan mengenai siswa.

Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.

c. Keyakinan mengenai pengetahuan.

Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.

d. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui.

Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, dimana hal ini berhubungan dalam keyakinan (teologi)nya yang harus diajarkan kepada murid/siswa.

G. Asas Mengajar Seorang Guru Pak Jika Menerapkan Pemikiran Progresivisme.

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran guru PAK. Ia menjadi guru PAK yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai situasi dan kalangan. Itulah yang menjadikan pikiran guru PAK tetap. Guru PAK menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat, khususnya murid / siswa. Dari situ, dapat memahami guru PAK sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh ke-manusia-an di masa hidupnya. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

H. Pandangan kosmologi, antropologi, teologi, dan ontologi seorang guru Pendidikan Agama Kristen.

Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:

Kosmologi.

Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Kosmologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak. Hakekat manusia: manusia adalah makhluk jasmani rohani, manusia adalah makhluk individual sosial, manusia adalah makhluk yang bebas, manusia adalah makhluk menyejarah.

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.

Antropologi. Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Teologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, pemahaman teologi akan menjauhkan guru PAK dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Maka di sini teologi sebagai penerang kuat, bagaimana seharusnya seorang guru PAK bersikap, baik ke terhadap dirinya maupun terhadap siswa / murid. Sehingga siswa / murid di bawa ke dalam pola hidup yang benar sesuai dengan kebenaran yang teologi (Alkitab) ajarkan.

Epistemologi. Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi. Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

Ontologis. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

I. Pemahaman Dan Korelasional Yang Harus Dimiliki Seorang Guru Pak Tentang Etika Dan Estetika.

Etika dan estetika merupakan bagian dalam filsafat Aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

 

J. Relevansi Teori Empirisme, Nativisme, Dan Konvergensi Dalam PAK.

Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.

Teori / hukum Empirisme (John Locke, tahun 1632 – 1704), dimana perkembangan pribadi ditentukan oleh lingkungan, terutama lingkungan pendidikan. Manusia laksana kertas putih. Teori / hukum Nativisme (Arthur Schopenhauer, tahun 1988 – 1860), dimana perkembangan pribadi manusia hanya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor koderati. Teori / hukum konvergensi (William Stern, tahun 1971 – 1938), dimana perkembangan pribadi manusia merupakan akumulasi dari dari interaksi-sinergis antara potensi dasar dengan lingkungan pendidikan. Yang menjadi relevansi dari ketiga teori / hukum ini adalah bahwa teori / hukum konvergensi merupakan gabungan yang sinergis antara teori / hukum Empirisme dan Nativisme.

Sesuatu dipandang sah dilakukan, jika ada manfaatnya. Manusia akan berkembang jika berinteraksi dengan lingkungan berdasarkan hereditas dan kemampuan berpikir dalam dirinya. Sekolah merupakan lingkungan khusus yang menjadi penyambung lingkungan yang lebih umum. Sekolah berfungsi menyeleksi dan menyederhanakan kebudayaan yang berguna bagi individu. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan pendekatan pemecahan masalah.
Progresivisme atau gerakan progresif pengembangan teori pendidikan mendasarkan diri pada beberapa prinsip, yaitu: anak harus bebas berkembang secara wajar, pengalaman langsung picu utama minat belajar, guru harus menjadi peneliti dan pembimbing anak, Sekolah harus menjadi ujung tombak reformasi pedagogis dan eksperimen.

K. Manfaat Mempelajari Filsafat Pendidikan Agama Kristen.

Setelah menempuh mata kuliah ini penulis paling tidak kesadaran dan memiliki dasar pemikiran filosofis dan teoritis mengenai pendidikan dalam lingkup pengajaran makro berlandaskan epistemologis dan lingkup belajar-mengajar mikro berlandaskan interaksi insani, memiliki wawasan yang luas dan dalam mengenai berbagai pandangan fislafat dan teori pendidikan. Penulis mampu pula mengidentifikasi permasalahan pendidikan yang ditemuinya dalam keseharian pendidikan dan mencarikan jalan keluarnya. Diharapkan juga dengan landasan ini, penulis akan mampu membina dan mengembangkan program pendidikan serta memecahkan persoalan pendidikan pada umumnya, dan khususnya yang timbul dan dihadapi di Indonesia baik dalam rangka otonomi daerah maupun dekonsentrasi pendidikan guru dan Pendidikan Agama Kristen.”Filsafat Pendidikan Agama Kristen” membahas persoalan filsafati dan teoritis mengenai pendidikan, baik dasar pemikiran maupun penerapannya dalam praktek serta pemecahan masalah-masalah mikro dan makro pendidikan, dengan menempatkan permasalahan pendidikan tersebut pada pemikiran filsafat maupun teoritis. Maka perkuliahan ini juga menyoroti pelbagai landasan pendidikan, serta pendidikan dalam praktek dengan ilmu pengetahuan termasuk pedagogik, dengan filsafat pendidikan serta dengan berbagai disiplin keilmuan lain. Dalam studi ini digunakan pendekatan filsafat, teoritis-sistematis, historis, maupun komparatif, yang mana dari itu semua dilandasi oleh pemikiran teologi Kristen, sebagai pengejawantahan dari Alkitab.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ardiani, Guru dan Filsafat Pendidikan

Belandina, Janse, 2005. Profesionalisme guru dan BIngkai Materi Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA. Bandung: Bina Media Informasi.

Bogdan & Biklen, Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon, 1982.

Campbell & Stanley, Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly, 1963.

Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965

Danim, Sudarwan, 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Gordon, Thomas, Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub, 1974.

http://mirnaferdiyawaty-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/parennialisme_26.html (dicopy minggu 26 Oktober 2008)

http://massofa.wordpress.com/2008/01/15/peranan-filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-ilmu-pendidikan/ – dikuti 10

(http://64.203.71.11/kompas-cetak/0609/30/humaniora/2994243.htm)

Henderson, SVP, Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press, 1954.

Heryanto, Nunu, Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan (Suatu Tinjauan Filsafat Sains).

Kneller, George F. , Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York, 1971.

Muhadjir, Noeng, 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nasution,1982. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars,

P.H. Hirst & R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1972.

The Liang Gie, 2004. Pengantar Filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.

 

——————————-

Ditulis oleh Pilipus Kopeuw, M.Pd sebagai tugas Filsafat Pendidikan

11 pemikiran pada “TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Tinggalkan Balasan ke tona zebua Batalkan balasan