CARILAH ALLAH SELAGI IA DAPAT DITEMUI

Penelitian

Khotbah oleh James Yom, S.Th

Penulis Pilipus Kopeuw

Sentani Minggu 15 Maret 2012 – Jam 09:00 wit

 

Khotbah ini disampaikan pada Ibadah Umum setiap hari minggu di Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Marantha Hawai Sentani Jayapura Papua. Khotbah didasari dari Kitab Yesaya 55:1-13 dan sebagai ayat mas adalah ayat 6.

Mencari uang adalah hal yang mudah, karena memerlukan kecerdasan otak dan dan fisik semata. Hal itu siapa saja dapat lakukan. Apakah orang tua maupun anak-anak. Dulu uang dicari oleh orangtua, tapi sekarang anak-anak bisa cari uang. Contoh kongkritnya adalah anak-anak jaga parkiran bisa dapat uang.

Mencari Tuhan memerlukan roh yang menyala-nyala. Mencari Tuhan memerlukan kerinduan. Mencari Tuhan memerlukan penyangkalan diri dan penyaliban keinginan daging. Oleh karena itu, hanya sedikit orang yang bisa melakukannya, sebab banyak orang tidak bisa menyalibkan diri dan keinginan-keinginan dagingnya.

Yesaya 55: 6, tertulis carilah Tuhan selama ia berkenan ditemui. Mengapa kita harus mencari Tuhan?

  1. Karena Tuhan sendiri yang mengundang kita untuk mencari Tuhan. Perhatikan Yesaya 55:1. Ayo hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran. Manusia tidak lepas dari persoalan hidup dari hari ke hari. Oleh sebab itu, manusia butuh jawaban dan pertolongan Tuhan. Orang datang ke gereja tidak butuh biaya banyak, bandingan dengan saudara pergi nonton sepakbola ISL, atau konser music. Orang pasti mengeluarkan banyak biaya dan bayar mahal. Namun berbeda dengan undangan yang Allah berikan kepada Anda dan Saya itu Allah berikan dengan gratis-tis. Kenapa demikian, karena Tuhan tahu persis hidup saya dan Anda sekalian.
  2. Karena di dalam kecukupan dan kelimpahan (Ayat 2d). kenapa banyak orang mencari kelimpahan di luar Tuhan? Kalau Anda dan saya mau diberkati Tuhan, cari Tuhan. Ketika kita mencari Tuhan, berkat akan mengejar Engkau. Orang yang dekat dengan Tuhan ia tidak takut akan kebutuhan hidupnya ini.
  3. Karena di dalan Tuhan ada kehidupan (Ayat 3b). di dunia ini ada dua hal, yaitu: Kehidupan dan Kematian. Kematian disini bisa berarti kematian secara rohani dan jasmani. Jika kita mencari Tuhan, kehidupan akan engkau akan dapatkan. Datangnya kehidupan secara jasmani itu pun Tuhan yang tentukan. Tuhan berjanji bahwa ketika kita mencari Tuhan, kita akan menemukan DIA.
  4. Karena Tuhan rindu bersekutu dengan kita (Ayat 3c).  ketika engkau membangun persekutuan dengan Tuhan, maka Tuhan akan dekat denganmu. Tanpa engkau minta pun, Tuhan pasti akan memberi. Cari Tuhan, karena DIA hendak mengikat perjanjian abadi dengan kita. Kalau mau tender proyek biasanya para pengusaha dekat dengan bapa-bapa kepala dinas atau bapa Bupati dan Gubernur atau Presiden. Kalau kita mau tender proyek dari Bapa di Surga, berarti kita juga harus dekat dengan DIA.
  5. Selagi masih ada kesempatan dan waktu yang baik. Tuhan mau kita mencari DIA selagi ada kesempatan dan waktu. Suatu masa nanti tidak ada kesempatan dan waktu lagi untuk orang datang kepada Tuhan. Di beberapa Negara di belahan dunia lain, mereka sibuk dengan perang, tidak ada waktu untuk ibadah. Negara yang dilanda resesi ekonomi, menjadi miskin. Mereka tidak bisa mencari Tuhan, karena mereka hanya pikir perut mereka. Orang-orang yang dilanda bencana alam, mereka sedang dalam tangisan, mereka pun tidak bisa beribabah. Marilah kita mencari Tuhan. Masalah itu biasa tapi lekat pada Tuhan, imammu besar, dan lihat Tuhan mencukupi kenutuhanmu.
  6. Karena Tuhan memiliki rencana yang Agung bagi kita (ayat 8). Tuhan punya rencana yang indah bagi kita. Kalau tidak demikian, visi Tuhan beralih kepada orang lain. Tetapi bagi orang yang benar-benar setia beribadah, Tuhan dekat padanya. Yeremia 29:11… kalau kita butuh damai sejahtera, nats ini adalah jawabannya. Tuhan Allah ingin anak-anak-Nya sukses. Tuhan tidak merancang kita jadi orang orang Kristen yang miskin, yang bangrut, yang gagal terus, sakit-sakitan, tetapi Tuhan ingin supaya kita berhasil. Kalau kita tidak berhasil, berarti kitalah yang perlu mengoreksi diri.
  7. Karena di dalan Tuhan ada Damai Sejahtera dan Sukacita (ayat 12a). ketika kita mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, engkau akan mendapatkan sukacita. Ada banyak orang lain lari kepada narkoba, sex bebas, alcohol, tapi bagi kita sebagai orang yang percaya dan setia beribadah kalau ada masalah larilah kepada Tuhan. Matius 11:28… carilah Tuhan selama IA dekat.

 

BAGAIMANA MENCARI TUHAN

 

  1. Dengan cara yang berkenan. Datang kepada Tuhan dengan rasa haus dan lapar. Orang yang tidak punya perasaan seperti itu, dia akan jalan masuk-keluar ibadah biasa-biasa saja.
  2. Mencari Tuhan dengan kerinduan yang menyala-nyala.
  3. Mencari Tuhan di dahului dengan pertobatan. Ayat 7, orang yang belum bertobat belum tentu bisa berdiri melayani, sebagai singer’s, songleader, pengkhotbah dan pelayanan lainnya. Yesaya 59:1-2 tanda pertobatan adalah baptisan. Dosa adalah pemisah hubungan kita dengan Tuhan. Dosa memang enak, tetapi akibat-akibat yang ditimbulkan dosa itu beresiko tinggi. Dosa merusak diri kita. Dosa membuat kita menjadi orang yang tidak berhasil dalam arti luas. Dosa akan merusak keluarga kita. Dosa akan merusak hubungan kekerabatan, persekutuan dengan sesame dan juga merusak hubungan dengan Allah.
  4. Mencari Tuhan dengan jalan berpegang pada janjiNya (ayat 11a). Kita harus baca firman Tuhan, supaya Tuhan berikan kita hikmat dan wawasan baru. Firman Tuhan adalah makanan bagi jiwa kita. Jiwa tidak bisa diberi makan dengan makanan jasmani. Oleh karena itu, peganglah firman Tuhan dengan baik.
  5. Mencari Tuhan dengan setia (ayat 13d). setia memang gampang diucapkan, mudah didengar tapi juga harus mudah dilakukan. Setia untuk melayani. Setiap kepada suami/istri. Setia dalam perkara kecil, itu penting sekali. Manusia biasa mau yang besar, karena tidak mengerti. Tuhan melihat kita, bukan karena kelebihan kita, tapi karena kesetiaan Tuhan-lah yang akan mengangkat engkau. Orang yang setia dia akan menikmati janji-janji Tuhan. Orang yang setia juga akan bisa melakukan hal-hal lain yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain.

 

ONDOFOLO DAN KHOSE ADALAH RAJA – RAJA DI SENTANI

Penelitian

Oleh Philip Kopeuw

Yogyakarta Jumat 20 April 2012 – Jam 07:45 wib

 

Pada tahun 2000-an saya pernah mengikuti suatu pertemuan “Akbar” khusus bagi para Ondofolo dan Khose seluruh Sentani di Hotel Sentani Indah. Pada waktu itu sebagai pembicara adalah Drs. Jhon Ibo, MM. selain membahas tentang “Otonomi Khusus yang mengarah kepada kemerdekaan Papua”, saya juga sempat mengingat sebuah penjelasan tentang pemerintahan adat Sentani. Dalam penjelasan itu, dikatakan bahwa masyarakat adat Sentani memiliki sistem atau struktur pemerintahannya sendiri. Sistem atau struktur pemerintahan adat Sentani sebagai berikut: Pucuk pimpinan adalah Ondofolo. Ondofolo membawahi 5 (lima) Khose (Kepala Suku). Setiap Khose membawahi 5 (lima) Akhona (kepala keret). Setiap kepala keret membawahi kelompoknya masing-masing. Ondofolo tidak dibawah perintah siapa-siapa lagi. Itu berarti Sang Penguasa di atas Ondofolo hanya Sang Pencipta.

Pemerintahan adat Sentani bersifat kerajaan. Karena untuk pergantian “Tahta” Ondofolo dan Khose itu berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal) atau bersifat hirarki. Misalnya, kalau Ondofolo meninggal dunia berarti anak laki-lakinya yang tertua akan diangkat dan dilantik menjadi Ondofolo. Begitu juga untuk Khose atau Akhona. Jika seorang Khose atau Akhona meninggal dunia, maka anak laki-laki yang tertua secara otomatis akan diangkat dan dilantik menggantikan posisi itu. Pergantian ini merupakan suatu sistem warisan. Di bagian daerah atau Negara lain, sistem pemerintahan keondofoloan ini lebih di kenal dengan sistem kerajaan. Seperti kerajaan Tidore, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Goa, Kerajaan Jepang, Inggris, Belanda, dan lainnya. Jadi Jabatan Ondofolo dan Khose sebenarnya adalah jabatan “Raja”. Artinya Ondofolo adalah seorang Raja. Demikian juga Khose adalah seorang Raja.

Suatu wilayah yang dipimpin oleh raja atau ratu yang rakyatnya patuh dan tunduk pada perintah dan aturan kerajaan, itulah kerajaan. Ciri-ciri sebuah kerajaan: (1) bentuk pemerintahan di kepalai oleh raja; (2) tanda-tanda kebesaran raja adalah payung dan tahta; (3) martabat (kedudukan) raja setelah nenek dan kakek berpulang dipegang oleh ayahanda; (4) wilayah kekuasaan seorang raja, wilayah-wilayah tanahnya berbatasan dengan siapa  saja sangat jelas; (5) sifat sebagai raja: jika tiada diketahui tujuh perkara, tiada sempurna tanpa rajanya; (6) menjadi raja: naik tahta menjadi raja.

Pemerintahan dalam masyarakat Asia sebelum pengaruh Barat muncul disandarkan kepada sistem beraja. Dalam sistem ini masyarakat memberikan kesetiaan yang tidak berbalah bahagi kepada raja. Kedudukan raja amat dihormati dan menjadi suatu keramat kepada rakyatnya. Dalam menilai dan mengkaji sistem ini dapat dinilai melalui konsep raja dari sudut pandang rakyat.

Melalui konsep yang dipegang, rakyat melihat raja mereka sebagai individu yang lain daripada manusia yang lain. Rakyat melihat raja mereka sebagai individu yang penuh keramat dan kesaktian. Raja mempunyai kuasa yang tiada tandingan dengan manusia lain. Keadaan seperti ini dapat dijelaskan melalui konsep ketuhanan atau kekuasaan ketuhanan yang ada pada raja. Dengan kata lain, penghormatan rakyat kepada rajanya bergantung pada kekuasaan ketuhanan yang ada pada raja itu. Dengan kepercayaan bahwa raja itu, sama adalah tuhan, anak tuhan, mempunyai kuasa tuhan atau individu lindungan tuhan, raja menjadi objek sama ada untuk disembah atau menurut segala arahan atau titahnya. Melawan atau cubaan memberontak menjadi satu kesalahan besar dan boleh menyebabkan mereka yang berkelakuan seperti itu disumpah atau dimurkainya.

Kemurkaan raja ini dianggap sebagai kemurkaan tuhan dan individu yang melanggar kepercayaan ini akan mendapat kecelakaan. Kepercayaan seperti ini telah meletakkan raja dalam situasi yang selesa dan senantiasa mendapat kepatuhan daripada rakyat (Yoho).

Namun apa yang terjadi saat ini, jaman telah membuat generasi muda asli Sentani kehilangan figure raja. Generasi muda tidak lagi menhargai para Ondofolo –Khose. Ondofolo-Khose saat ini dianggap biasa, sama dengan masyarakat lain. Apa yang salah disini? Mengapa hal ini bisa terjadi? Adakah generasi muda Sentani bisa mengembalikan posisi Ondofolo-Khose sebagai Raja di Sentani? Kita tunggu saja perubahan selanjutnya.

PERILAKU DAN INTERAKSI SOSIAL WARIA

Penelitian

oleh Pilipus M Kopeuw

Jogja, 11 Januari 2010

 

KATA PENGANTAR

 

 

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang dilimpahkan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas ini mengungkap perilaku dan interaksi sosial waria di Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan berupa arahan dan dorongan serta beaya selama penulis studi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

  1. Prof. Syafri Sairin, Ph.D dan DR. Pande, selaku dosen pengampu mata kuliah metode penelitian kualitatif yang telah banyak membantu  dalam memberikan pemahaman tentang metode penelitian kualitatif ini.
  2. Teman-teman mahasiswa Prodi S3 PEP angkatan 2008 Universitas Negeri Yogyakarta.  

Semoga amal baik dari berbagai pihak tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa dan  semoga latihan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

     

Yogyakarta, 11 Januari 2010

Pilipus Kopeuw

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………..  iv

 

 

BAB I             : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 2

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………..  2

D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 2

 

BAB II                        : LANDASAN TEORI

1. Perilaku Manusia …………………………………………………    3

a. Pengertian perilaku manusia …………………………….    3

b. Faktro-faktor yang mempengaruhi…………………….   3

c. Dasar-dasar perilaku ……………………………………….    4

2. Interaksi Sosial ……………………………………………………    5

a. Pengertian interaksi sosial ……………………………….    5

b. Bentuk-bentuk interaksi sosial …………………………    6

c. Status, peranan dan hubungannya ……………………    7

d. Penyimpangan sosial ……………………………………..     8

3. Penyakit Sosial ……………………………………………………    8

a. Pengertian penyakit sosial ……………………………….    8

b. Macam-macam penyakit sosial ………………………..    9

4. Waria …………………………………………………………………    12

 

BAB III          : METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian  …………………………………………….  14

B. Subyek Penelitian……………… ……………..………………  14

C. Metode Pengumpulan Data……………………………………..            15

D. Instrumen Penelitian……………………………………………… 16

E. Tahapan Penelitian ……………………………………………….. 16

F. Teknik Analisis Data……………………………………………..  16

G. Teknik Keabsahan Data ……………………………… 16

 

BAB IV          : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  1. Deskripsi Data ……………………………………………………. 17
  2. Pembahasan………………………………………………………… 17

1. Perilaku dan interaksi soail banci lampu merah….     17

2. Perilaku dan interaksi sosial banci PSK……………      20

3. Kritik terhadap banci ……………………………………      21

 

BAB V            : KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 22

A. Kesimpulan …………………………………………………………  22

B. Saran ………………………………………………………………….  22

 

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….            23

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Hampir semua orang mengenal waria (wanita tapi pria), waria adalah  individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi penulis waria  merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk.

            Perilaku waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu akan selalu berkembang, dari perkembangan tersebut individu akan mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.

            Berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis. Pakar kesehatan masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal. Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas: dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk mencari kebebasan (Kompas, 7 April 2002)

Perlakuan yang tidak adil terhadap waria, tidak lain adalah disebabkan kurang adanya pemahaman masyarakat tentang perkembangan perilaku dan dinamika psikologis yang dialami oleh para waria, sebab selama ini pemberitaan-pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik, belum sampai menyentuh pada wilayah tersebut. Berdasar atas realitas tersebut peneliti menganggap penting untuk memahami lebih dalam mengenai waria, kebutuhan-kebutuhan atau dorongan yang mengarahkan dan memberi energi pada waria, tekanan-tekanan yang dialami, konflik-konflik yang terjadi, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan oleh waria tersebut. Cara yang paling tepat adalah dengan mempelajari perilaku dan interaksi waria, dimana hal ini dapat diketahui dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan orang tersebut.

            Penulis berharap dengan informasi yang disampaikan melalui penulisan studi kasus ini akan mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang akurat mengenai fenomena waria, sehingga penerimaan dan pemahaman yang terjadi atas fenomena tersebut akhirnya merupakan sebuah pemahaman yang tepat.

 

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah perilaku dan interaksi sosial Waria dalam menjalani kehidupannya?.

 

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perilaku dan interaksi sosial Waria dalam menjalani kehidupannya.

 

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis: Memperkaya khasanah teori Psikologi Kepribadian, Psikologi Perkembangan maupun Psikologi Abnormal mengenai fenomena waria.
  2. Manfaat praktis: Memberikan informasi pada para waria mengenai proses-proses psikologis yang terjadi pada diri mereka, agar mereka lebih bisa memahami dirinya.
  3. Bagi Masyarakat dan Orang Tua: Memberi informasi kepada para orang tua dan masyarakat pada umumnya tentang fenomena waria. Mencakup informasi mengenai perkembangan rentang kehidupan waria, faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya waria, serta bagaimana dinamika kepribadian seorang waria.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

A. KAJIAN TEORI

1. Perilaku Manusia

 

a. Pengertian Perilaku Manusia

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Perilaku seseorang dekelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku penyimpangan. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalah artikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan yang secara khusus dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap  perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan holistik  dan komprehensif. Perilaku manusia dapat diplekajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan kedokteran (http://id.wkipedia.org/wiki/perilaku_manusia).

 

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah genetika, sikap (suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu), norma sosial (pengaruh tekanan sosial), dan kontrol perilaku pribadi (kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku).

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus. Menusia berfikir dan merenung, kemudian menjadikan dirinya sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia dipuja, tetapi di kala yang lain ia dihujat. Scara internal manusia sering merasa bangga dan bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang lain atau di waktu yang lain, ia terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya sebagai manusia.

Ada manusia yang perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan, tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi tingkat kemanusiaannya sehingga ia disebut sebagai “manusia suci”. Pada umumnya manusia tertarik untuk bertanya tentang dirinya ketika berada dalam puncak-puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keberhasilan dan puncak kegagalan. Ada kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang kualitas manusia terfokus pada jiwanya, terkadang disebut hatinya, karena hakikat manusia adalah jiwanya.

Dalam sejarah keilmuan, lahirnya filsafat, antropologi, psikologi, ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari jawaban tentang manusia, tetapi khusus tentang jiwa manusia, ia dibahas oleh filsafat, psikologi dan agama. Psikologi sebagai disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi, tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitip ummat manusia. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari mata. Hinga kini sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni (1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitip dan (4) Humanisme. Empat mazhab itu menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap manusia yang sifatnya trial and error.

Freud dengan teori psikoanalisanya memandang manusia sebagai homo volens, yakni makhjluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani, intelek dan moral.  Teori ini dibantah oleh Behaviorisme yang memandang perilaku manusia bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.

Teori ini dibantah lagi oleh teori Kognitip yang menyatakan bahwa manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa aktip bereaksi secara aktip terhadap lingkungan dengan cara berfikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapi dan merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori Kognitip, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir. Teori Kognitif dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positip dan menentukan. Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh karena itu teori Humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti makna kehidupan. Psikologi lahir dari budaya sekuler, oleh karena itu Psikologi tidak mengenal Tuhan, dosa maupun baik buruk. Yang dikenal dalam Psikologi adalah sehat psikologis dan sakit psikologis. Meski demikian dewasa ini Psikologi Humanistik sudah mulai meraba-raba wilayah yang sumbernya dari wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual dan emosional, juga dibahas kecerdasan spiritual (http://mubarok-institute.blogspot.com/2007/04/perilaku-manusia-2.html).

c. Dasar-Dasar Perilaku

Karakter Manusia tidak terbentuk secara tiba-tiba, tetapi bermodal tabiat bawaan genetika orang tuanya kemudian terbangun sejalan dengan proses interaksi social dan internalisasi nilai-nilai dalam medan Stimulus dan Respond sepanjang hidupnya. Perilaku manusia tidak cukup difahami dari apa yang nampak, tetapi harus dicari dasarnya. Tidak
semua senyum bermakna keramahan, demikian juga tidak semua tindak kekerasan bermakna permusuhan. Diantara yang mendasari tingkah laku manusia adalah :

  • Instinc. Instinc bersifat universal; seperti (1) instinct menjaga diri agar tetap hidup, (2) instinct seksual dan (3) instinct takut. Semua manusia memiliki instinct ini.
  • Adat kebiasaan. Perbuatan yang diulang-ulang dalam waktu lama oleh perorangan atau oleh kelompok masyarakat sehingga menjadi mudah mengerjakannya, disebut kebiasaan. Cara berjalan, cara mengungkapkan kegembiraan atau kemarahan, cara berbicara adalah wujud dari kebiasaan. Orang merasa nyaman dengan kebiasaan itu meski belum tentu logis.
  • Keturunan. Ajaran Agama manapun menganjurkan selektip memilih calon pasangan hidup, karena karakteristik genetika orang tua akan menurun kepada anaknya hingga pada perilaku.
  • Lingkungan. Menurut sebuah penelitian psikologi; 83% perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh berbagai stimulus.
  • Motivasi. Setiap manusia melakukan sesuatu pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Motivasi melakukan sesuatu bisa karena (a) keyakinan terhadap sesuatu, (b) karena terbawa perilaku orang lain, (c) karena terpedaya atau terpesona terhadap sesuatu.
  • Keinsyafan. Keinsyafan merupakan kalkulasi psikologis yang berhubungan dengan (a) ketajaman nurani, atau (b) kuatnya cita-cita atau (c) kuatnya kehendak (http://osdir.com/ml/culture.religion.healer.-mayapada/2007-04/msg00159.html)

2. Interaksi Sosial

 

a) Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi Sosial dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Interaksi didefinisikan sebagai hal saling melakukan aksi atau saling mempengaruhi. Dengan demikian, Interaksi Sosial adalah hubungan timbal balik (sosial) beragam aksi saling mempengaruhi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antar kelompok dengan kelompok. Ciri-ciri interaksi :

  1. Jumlah pelaku dua orang atau lebih.
  2. Adanya komunikasi antara pelaku.
  3. Adanya dimensi waktu.
  4. Adanya tujuan tertentu.  

Aturan dalam interaksi sosial ada aturan mengenai ruang, aturan mengenai waktu, aturan mengenai gerak tubuh. Sumber interaksi yang mendasari interaksi adalah warna kulit, usia, jenis kelamin, penampilan fifik, bentuk tubuh, pakaian dan wacana.

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabilah orang perorangan dan kelompok-kelompok soail saling bertemu da menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan diantara mereka. Proses sosial dapat diartikan sebagai hubungan sosial antara berbagai segi kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan antara berbagai segi kehidupan bersama.

Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perongan dengan kepentingan kelompok. Ada bermacam-macam interaksi sosial atau faktor pendorong interaksi sosial antara lain:

  • Imitasi (peniruan): Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat atau segala sesuatu tindakan meniru orang lain.
  • Sugesti : Sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan/sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh orang lain atau segala saran atau nasehat yang diberikan langsung diterima.
  • Identifikasi : Kecenderungan/keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain.
  • Proses Simpati : Suatu proses dimana seseorag merasa tertarik pada pihak lain. Fakor utamanya perasaan untuk memahami orang/pihak lain.
  • Empati : Simpati yang mendalam yang dapat mempengaruhi kejiwaan dan perilaku orang lian.

 

Tahapan pendekatan dan peregangan hubungan dalam interaksi sosial

  1. Tahapan yang mendekati
  1. Memulai (imitiating)
  2. Mengajari (experimenting)
  3. Meningkatkan (intersifasing)
  4. Menyatu padukan (integrating)
  5. Mempertahankan (bording)
  6. Membeda-bedakan (differentiating)
  7. Membatasi (circumscribing)
  8. Memacetkan (stagnating)
  9. Menghindari (avoiding)
  10. Memutuskan (terminating)
  1. Tahapan yang meregangkan

 

Selain itu, ada juga syarat-syarat dari interaksi sosial, yakni:

  • Adanya kontak sosial (social contact). Ada tiga bentuk:
    • antar individu
    • individu dengan kelompok
    • antar kelompok
  • Adanya komunikasi, yaitu seseorang memberi ari pada perilaku orang lain, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan orang tersebut.

 

b. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang bersifat asosiatif

1) Kerja sama (cooperatis)      kerja sama adalah suatu usaha bersama antar individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk kerja sama :

  • Kerukunan atau gotong royong
  • Bergaming
  • Kooptasi
  • Koalisi
  • Jomit venture
  • Kerja sama
  • Kerja sama langsung
  • Kerja sama erutasi
  • Kerja sama tradisional

2). Akomodasi

Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk mencegah, meredakan, mengatasi suatu pertentangan agar terjadi keseimbangan. Bentuk akomodasi :

  • Koersi (coersion)
  • Arbritasi (arbrilatis)
  • Mediasi (mediatis)
  • Kroalisis (coucilialis)
  • Toleransi (tolerance)
  • Statemate
  • Adjudi kasi

3). Asimulasi (assimulasi)

            Asimulasi adalah usaha untuk mengurangi perbedaan untuk mencapai satu kesepakatan berdasarkan kepada tujuan dan tujuan-tujuan bersama.

4). Alkulturasi (aculturasi)

            Terpadunya dua kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri kepribadian masing-masing. Interaksi sosial yang bersifat Disonatif

  1. Persaingan (competisi)
  2. Kontroversi (contropersi)
  3. Konflik (conflict): Bentuk-bentuk konflik

a)      Konflik pribadi

b)      Konflik rasial

c)      Konflik antar makro sosial

d)      Konflik politik

e)      Konflik internasional   

c. Status, peranan dan hubungan individu dalam interaksi sosial.

Status sosial adalah posisi seseorang secara umum dalam masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain. Peranan sosial adalah perilaku yang diharapkan oleh pilihan lain dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya. Menurut Rudloph Huliv, ada tiga macam cara memperoleh status. (1) Ascralud status: Status yang diperoleh dengan sendirinya sejak lahir, contoh : Rd. Tengku, Andi, I Gusti dan sebagainya; (2) Aclueved status:          Status yang diperoleh dengan usaha yang sengaja, contoh : presiden, menteri, guru, dokter dan lain-lain; dan (3) Assigued status: Status yang diperoleh karena pemberian pihak lain, contoh : pahlawan, nobel dan sebagainya.

 

d. Penyimpangan Sosial

Pengertian penyimpangan adalah suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat atau, penyimpagan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Pengertian penyimpangan sosial atau perilaku penyimpangan adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.

Penyimpangan dibagi dalam dua bentuk, yakni penyimpangan primer (primary deviation) dan penyimpanan sekunder (secondary deviation). Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat di terima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer ataupun sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Cintohnya: Menunggak pembayaran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu lintas, ngebut dijalan dan sebagainya. Sedangkan Penyimpangan sekunder adalah penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku penyimpangan. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: pemabuk, pengguna obat terlarang, pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.

Jenis-jenis penyimpangan ada dua yaitu jenis penyimpangan individual (individual deviation) dan penyimpangan kolektif (group deviation). Kategori tindak penyimpangan individual antara lain penyalagunaan narkoba, proses sosialisasi yang tidak sempurna, pelacuran, penyimpangan seksual, tindak kejahatan/kriminal, dan gaya hidup. Penyimpangan kolektif antara lain: kenakalan remaja, tawuran/perkelahian pelajar, penyimpangan kebudayaan.

 

3. Penyakit Sosial

Dalam proses sosialisasi di masyarakat, disadari ataupun tidak disadari seseorang pernah melakukan tindakan penyimpangan sosial, baik dalam skala besar ataupun kecil. Perilaku menyimpang apabila dilakukan secara intens dan dalam skala yang besar bisa berubah menjadi penyakit sosial. Penyakit sosial yang merupakan kebiasaan berperilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, baik pada masyarakat tradisional, desa, kota, maupun pada masyarakat modern.

 

a. Pengertian Penyakit Sosial

Berbagai perilaku individu terkait erat satu sama lainnya dalam setiap kelompok atau masyarakatnya. Masyarakat adalah suatu kelompok sosial yang terdiri atas kumpulan beberapa individu yang hidup bersama dan menjalin interaksi sosial dalam suatu daerah dalam jangka waktu yang relatif lama.

Masyarakat dapat diibaratkan sebagai tubuh, di mana keadaan masing-masing organ berpengaruh terhadap kondisi kesehatan tubuh. Demikian halnya masyarakat, di mana perilaku individu yang merupakan bagian dari masyarakat menentukan bagaimana keadaan masyarakat secara kesuluruhan. Misalnya kebiasaan warga masyarakat menjaga kebersihan lingkungannya akan membentuk situasi lingkungan masyarakat yang bersih, sehat, rapi, dan indah. Sebaliknya, jika masing-masing warga masyarakat tidak peduli dengan keadaan lingkungannya, maka situasi lingkungan masyarakat tersebut diwarnai dengan egoisme dan ketidakteraturan.

Masyarakat yang harmonis terbentuk dari perilaku masing-masing warga masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku. Keharmonisan kehidupan masyarakat akan menciptakan suasana masyarakat yang sehat dan teratur. Seperti halnya dengan tubuh yang selalu menghadapi kemungkinan adanya berbagai jenis penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan, di tengah masyarakat juga terdapat berbagai jenis penyakit yang dapat merongrong kondisi keharmonisan dan keteraturan sosial. Hal-hal yang dapat mengakibatkan situasi lingkungan masyarakat yang tidak sehat disebut sebagai penyakit sosial. Penyakit sosial merupakan bentuk kebiasaan berperilaku sejumlah warga masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat.

 

b. Macam-Macam Penyakit Sosial

Penyakit sosial merupakan bentuk kebiasaan masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial, sehingga menghasilkan perilaku menyimpang. Beberapa kebiasaan warga masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penyakit sosial antara lain kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, menyalahgunakan narkoba, penyakit HIV/AIDS, penjaja sex komersial (PSK), dan sebagainya.

1). Minum-Minuman Keras

Minuman keras atau sering disingkat miras adalah minuman yang mengandung alkohol. Minuman beralkohol dikategorikan menjadi tiga golongan berdasarkan kadar alkohol yang terkadung di dalamnya, yaitu:

  • Minuman beralkohol golongan A, mempunyai kandungan alkohol sebanyak 1 % sampai 5 %.
  • b. Minuman beralkohol golongan B, mempunyai kadar alkohol lebih dari 5 % sampai 20 %.
  • c. Minuman beralkohol golongan C, mempunyai kadar alkohol lebih dari 20 % sampai 55 %.

Alkohol termasuk zat adiktif, yakni zat yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan. Di samping itu, alkohol juga termasuk golongan depresan yang dapat memperlambat aktivitas otak dan sistem saraf. Sifat alkohol yang antiseptik sebagai larutan pelawan kuman sering dipergunakan oleh tenaga medis (dokter, perawat, bidan) untuk membersihkan peralatan yang akan dipergunakan untuk kegiatan pengobatan, misalnya alat suntik, mencuci peralatan operasi bedah, mensterilkan ruangan, dan sebagainya.

Masyarakat Eropa adalah kelompok masyarakat yang terbiasa meminum minuman beralkohol untuk menghangatkan tubuh guna melawan dinginnya lingkungan. Akan tetapi, mereka meminum alkohol tidak lebih dari satu gelas kecil (sloki) berukuran 10 ml dan hanya beberapa teguk saja, itu pun dilakukan tidak setiap saat.

Minum minuman beralkohol dalam jumlah banyak dapat menimbulkan mabuk bahkan tak sadarkan diri, karena alkohol berpengaruh terhadap kerja dan fungsi susunan saraf. Pemakaian alkohol dalam jangka waktu lama akan menimbulkan kerusakan pada organ hati dan otak serta menimbulkan efek ketergantungan.

Orang yang kecanduan alkohol akan menunjukkan gejala-gejala seperti mual, gelisah, gemetar, sukar tidur. Pengaruh alkohol mengakibatkan perilaku emosional, tak terkendali, dan agresif. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa banyak pelaku tindak kriminal selalu diawali dengan meminum minuman keras, sehingga tindakannya bisa di luar batas perikemanusiaan.

 

 

 

2). Judi

Judi merupakan kegiatan permainan yang bertujuan memperoleh uang tanpa bekerja dan hanya mengandalkan faktor spekulasi. Permainan judi selalu dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi yang bertujuan memperoleh uang secara cepat tanpa bekerja melalui suatu permainan. Kebiasaan berjudi membuat orang menjadi malas dan tidak mau bekerja, tetapi mempunyai ambisi besar untuk mendapatkan uang dalam jangka waktu singkat.Seperti halnya miras, berjudi dapat membuat orang ketergantungan, sehingga ia rela menghabiskan waktu dan pikirannya hanya untuk berjudi. Kebiasaan berjudi akan membentuk seseorang tumbuh menjadi pribadi yang cenderung emosional, tidak sabaran, tidak mampu berfikir logis, dan pemalas.

 

3). Narkoba

Istilah narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat-obatan terlarang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, narkotika diartikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Menurut Dr D.J. Siregar, istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata “narkotikos”, yang berarti keadaan seseorang yang kaku seperti patung atau tidur.

Dalam dunia kedokteran narkoba sangat diperlukan sebagai sarana pengobatan. Misalnya sebagai obat penenang atau obat bius dan penghilang rasa sakit pada pasien.

Orang yang menyalahgunakan pemakaian narkoba merupakan bentuk penyalahgunaan yang bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga mengganggu lingkungan sosial akibat sikap yang ditimbulkan dari ketergantungan terhadap narkoba. Orang yang mengalami ketergantungan pada narkoba biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan narkoba, seperti mencuri, merampok, dan merampas. Penyalahgunaan narkoba seringkali menyebabkan masalah kejiwaan dan kesehatan yang serius bagi penggunanya. Kehidupan sosial pemakai narkoba menjadi terganggu, sukar bergaul dan cenderung mudah terpengaruh tindak kejahatan.

Pengaruh narkoba terhadap tubuh yang sehat akan mengakibatkan gangguan mental dalam bentuk emosional, perilaku tidak terkendali, penurunan daya ingat yang sangat drastis, kerusakan sistem saraf otak. Adapun secara umum, ciri-ciri pemakai narkoba antara lain:

a. daya konsentrasi menurun,

b. malas, gairah untuk hidup hilang,

c. tidak peduli terhadap keadaan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya,

d. tidak mampu menggunakan akal pikirannya secara sehat,

e. sangat sensitif, emosional, dan agresif,

f. ketergantungan terhadap narkoba akan menimbulkan rasa sakit pada sekujur tubuh.

 

4). Penyakit HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Tubuh yang terserang AIDS akan rentan terhadap infeksi penyakit, sehingga mengakibatkan kematian. Saat ini, AIDS telah tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Virus HIV tersebar melalui pertukaran cairan tubuh, seperti darah, sekreta dari alat kelamin (cairan semen dan cairan vagina), dan air susu. Oleh sebab itu, HIV menular lewat hubungan seksual dengan penderita HIV (baik melalui anus atau vagina), kontak melalui darah dan produk-produk darah (misalnya serum), serta kegiatan menyusui dari ibu penderita HIV kepada anak yang disusuinya.

Meskipun HIV juga terdapat dalam air ludah dan urin, namun virus ini tidak cukup kuat untuk menyebabkan infeksi. Kontak biasa dengan orang yang terinfeksi HIV, seperti mengobrol, bersalaman, makan bersama, dan berenang, tidak akan menularkan HIV. Selain menimbulkan gejala influenza, seperti demam, pusing, dan hidung tersumbat, seseorang yang terinfeksi HIV juga mengalami beberapa gejala, seperti batuk, penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah bening, gangguan penglihatan, serta gangguan saraf dan otak. Para pecandu narkoba yang terinfeksi HIV sering mengalami gejala tambahan, seperti penyakit kuning, sesak napas, dan jantung berdebar-debar. Apabila jumlah sel turun sampai di bawah 200 sel per mikroliter darah, orang yang terinfeksi HIV akan mengalami gejala-gejala infeksi oporturiistik dan kanker, seperti pneumonia pneumosistis (infeksi paru-paru), sitomegalovirus, herpes, serta kanker sarkoma kaposi (kanker pembuluh darah) dan kanker leher rahim.

 

5). PSK

Pekerja sex komersial (PSK) merupakan salah satu bentuk penyakit sosial yang tertua di dunia. Kegiatan PSK yang disebut sebagai prostitusi telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Meskipun upaya pemberantasan terus-menerus dilakukan, tetapi praktik prostitusi tetap saja marak di masyarakat, baik yang berlangsung secara terang-terangan maupun secara terselubung dengan berkedok dan membaur dalam kegiatan sosial lainnya. Pada umumnya kegiatan prostitusi berlatar belakang pada faktor kesulitan ekonomi. Namun secara psikologis, prostitusi merupakan bentuk kelainan mental yang hanya dapat berhenti atas kesadaran pelaku semata. Oleh karena itu, meskipun pelaku prostitusi dijaring, dibina, dan diberi aneka keterampilan agar bekerja secara sewajarnya, namun tetap saja ia akan kembali menekuni prostitusi sebagai pilihan hidupnya apa pun risikonya.

Melalui prostitusi inilah akan berkembang subur penyakitpenyakit sosial lainnya, sehingga terciptalah mata rantai yang tidak terputus, bahkan saling terkait misalnya antara prostitusi dengan miras, penyalahgunaan narkoba, perjudian, dan proses penularan penyakit HIV/AIDS.

 

6). Kenakalan Remaja

Usia remaja erat kaitannya dengan perubahan sikap dan pola perilaku pada diri seseorang. Suatu hal yang alamiah bahwa dunia remaja selalu diwarnai dengan perilaku-perilaku yang menyimpang dari nilai dan norma yang telah diserapnya, karena keinginannya untuk menemukan jati diri dan adanya dorongan untuk tidak mau dikendalikan oleh orang lain. Dalam kondisi alamiah inilah peran orang tua sebagai penanggung jawab mengenai perilaku anak-anak sangat diharapkan. Kecenderungan remaja terikat dengan lingkungan sosial sebayanya memudahkan remaja terbawa arus lingkungannya. Oleh karena itu, orang tua wajib mengenali secara benar siapa saja teman sebaya anaknya yang sedang memasuki masa remaja.

Kenakalan remaja merupakan bentuk aktivitas sekelompok remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Sesuai dengan sifat remaja yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan emosi, perilaku mereka mencerminkan gejolak emosi tanpa mempedulikan lingkungannya. Misalnya kebut-kebutan, membikin keonaran/keributan, dan selalu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang sangat besar. Mudahnya remaja terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, miras, merokok bahkan tindak kejahatan merupakan bentuk perilaku menyimpang yang selalu berawal dari iseng atau coba-coba yang membuatnya mudah terjerumus ke perilaku menyimpang (http://afand.cybermq.com/post/detail/2772/penyakit-sosial).

 

4. Waria

Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksual), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif. (http://id.wikipedia.org/wiki/Waria).

Waria, banci, bencong, homoseksual, entah apalagi sebutan mereka, banyak wacana homoseksual dilontarkan di dalam masyarakat, yang kemudian sering terungkap adalah sudut pandang dari masyarakat yang mengatakan bahwa homoseksual itu haram, bertentangan dengan agama, penyakit kejiwaan dan penyimpangan seksual. Pada kenyataannya kaum homoseksual sama dengan kaum heteroseksual, mereka berperilaku sama dengan kaum heteroseksual lainya, yang membedakan hanya orientasi seksual mereka. Stigma ini muncul karena di Indonesia homoseksual dianggap sebagai Stereotipe negatif, masyarakat kelas dua. Bagi mereka homoseksual merupakan sebuah pilihan.

Kaum waria dan homoseksual (gay) memang punya perspektif hidup sendiri. Namun, jika dibenturkan dengan dengan HAM, mereka pun ing diperlakukan sama; ingin diperlakukan layaknya orang normal. Kaum waria dan gay punya mangsa yang sama , yakni laki-laki sebagai orientasi seksualnya. Biasanya cara mengoda waria menarik perhatian. Dengan gaya para waria yang khas kemayu,  kadang membuat banyak orang senyum. Terus terang saja, siapa pun tidak mau dilahirkan untuk menjadi waria.  Waria biasa menjadi obyek olok-olokan orang lain, kadang-kadang teman sendiri. Selain itu, menjalani hidup sebagai waria dikucilkan dari keluarga. Belum lagi sering dimarah-marahi oelh saudaranya. Kadang waria jalan saja sering digoda oleh pria maupun wanita-wanita. Sebagai waria kalau tidak dan dan, mereka tidak percaya diri. Awalnya mereka dandan harus sembunyi-sembunyi. Masalah lain muncul ketika waria akan mengurus KTP, diledekin petugas dengan menanyakan jenis kelamin. Bahkan, ketika berbicara tentang waria, sebagian besar orang langsung dapat menangkap, pekerjaan waria adalah pekerja seks dan menghilangkan pencitraan negatif tentang sosok waria tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Beberapa permasalahan yang mereka alami, di antaranya tindak kekerasan, baik secara seksual, fisik, dan emosional, sebab secara emosional biasanya waria mengalami penolakan dari keluarga.

Waria jangan dilihat dariketidak normalannya, tetapi juga melihat kelebihannya. Ada yang tubuhnya seksi, ada yang memang kelihatan cantik. Ada yang pintar berpakaian dan berdandan, bisa untuk fasion dan sebagainya. Tidak semua keberadaan waria meresahkan, tak sedikit dari para waria yang telah menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat yang menamakan diri mereka normal. Buktinya ada banyak waria yang punya salon kecantikan.

Menurut sosiolog Argyo, komunitas waria hingga saat ini belum memiliki ruang gerak yang cukup leluasa untuk mencari kesempatan bekerja secara normal sesuai dengan jati diri mereka sebagai seorang waria. Akibatnya, mereka lebih banyak turun ke jalan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan praktek prostitusi (http://regional.kompas.com/read/xml/2009/12/03/22225393/waria.tidak.-miliki.-kesempatan.bekerja.normal).

Waria memang mendapat tempat istimewa di Thailand. Di lingkungan pekerjaan pun, mereka sering memperoleh posisi kelas satu. Di sebuah restoran seafood di pinggir pantai Pattaya, misalnya, kami mendapati kenyataan bahwa para waria berada di garda depan pelayanan tamu. Mereka bertugas membawa daftar menu, mencatat pesanan, menuangkan air mineral ke gelas, lalu bertanya apakah masih ada pesanan yang kurang.

Urusan membawa nampan berisi makanan dilakukan oleh pegawai pria. Koki-koki di dapur pun pria. Nah, selesai makan, barulah pegawai wanita datang. Kaum hawa kebagian tugas merapikan piring-piring kotor dan membersihkan meja. Juga mengepel lantai yang tercecer kuah atau cairan bekas makanan. Pegawai waria datang kembali setelah itu, membawakan kertas tagihan dengan senyum yang khas, membereskan pembayaran dan menyerahkan uang kembalian, lalu melepas tamu di depan pintu dengan mengatakan “sawasdee…”, ucapan salam khas Thailand.

Kaum waria juga tampil dalam atraksi-atraksi hiburan yang populer, semacam kabaret dan opera, yang digelar setiap malam di banyak tempat di Bangkok dan Pattaya. Kami tak sempat menyaksikan salah satunya, tetapi dari brosur-brosur dan tawaran yang kami terima, memang kabaret seperti Alcazar Show di Pattaya diperankan oleh para waria. Mereka menyanyi, menari, dan bermain drama (http://windede.com/2008/09/02/ramai-operasi-kelamin-ada-toilet-khusus-waria/).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

 

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode atau pendekatan eksploratif kualitatif dengan rancangan studi kasus. Menurut Brannen (Alsa, 2003) Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai kebebasan kemauan, yang perilakunya hanya dapat difahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab-akibat. Oleh sebab itu logis jika penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif tidak bertujuan untuk membuat hukum-hukum melainkan bertujuan untuk memahami objeknya.

Alsa (2003) mengatakan bahwa penelitian dengan rancangan studi kasus dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu atau subjek yang diteliti. Penelitian studi kasus lebih mementingkan proses daripada hasil, lebih mementingkan konteks daripada variabel khusus, lebih ditujukan untuk menemukan sesuatu daripada kebutuhan konfirmasi. Pemahaman yang diperoleh dari studi kasus dapat secara langsung mempengaruhi kebijakan, praktek dan penelitian berikutnya.

Moleong (1996) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian. Memanfaatkan metode kualitatif mengandalkan analisis data secara induktif, bersifat deskriptif, mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus dan memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitian bersifat sementara, hasil disepakati kedua pihak yaitu peneliti dan subjek penelitian.

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1996). Penelitian kualitatif dalam konteks penelitian terapan menurut Nawawi dan Martini (1994), adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana adanya, dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan.

 

B. Subjek Penelitian

  1. Sampling

            Pada penelitian non-kualitatif sampel dipilih dari suatu populasi sehingga dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. Jadi sampel benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi. Pada paradigma alamiah (Lincoln dan Guba, 1985 dalam Moleong, 1996) peneliti mulai dengan asumsi  bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks ditangani dari segi konteksnya sendiri.  Oleh karenanya dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel acak tetapi sampel bertujuan (purposive sample) (Moleong, 1996).

Pada sampel bertujuan jumlah sampel ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring, maka penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi kuncinya ialah jika sudah mulai terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel sudah harus dihentikan (Moleong, 1996).

 

 

  1. Penentuan Subjek Penelitian

Kriteria yang dipakai memilih subjek penelitian ini, yaitu individu-individu yang berdasarkan kriteria yang telah ditentukan disebut sebagai Waria. Subjek penelitian adalah beberapa waria di berbagai wilayah mangkal di Yogyakarta.

 

  1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dilokasi tempat mangkal para waria di Yogyakarta.

 

C. Metode Pengumpulan Data

Alsa (2003) berpendapat bahwa peneliti kualitatif cenderung mengumpulkan data melalui kontak secara terus menerus dengan subjek dalam setting alamiah, seperti rutinitas mereka sehari-hari. Metode pengumpulan data yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah interview dan observasi partisipan.

  1. 1.      Wawancara

Berdasar taxonomi bentuk pertanyaannya, wawancara dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk yaitu verbal dan non verbal. Ada dua bentuk pertanyaan verbal yaitu pertanyaan langsung dan tidak langsung; sementara itu untuk yang non verbal juga mempunyai dua bentuk pertanyaan yaitu overt dan covert. Sementara itu pertanyaan langsung dari verbal mempunyai dua bentuk yaitu terbuka dan tertutup (Werner dan Schoepfle, 1987 dalam Koentjoro, 2007).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara partisipan dan tidak berstruktur, pemilihan model wawancara ini didasarkan atas kemampuan model ini untuk terhindar dari bias. Koentjoro (2007) membagi interview berdasar cara pengambilan datanya menjadi dua, yaitu interview partisipatif dan non partisipatif. Wawancara partisipatif pada umumnya berbentuk verbal terstruktur maupun tidak, terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah adanya kecenderungan responden tidak menyadari kalau tengah diinterview, karena peneliti memanfaatkan momen-momen khusus.

  1. 2.      Observasi

Walaupun sudah dilakukan interview, peneliti akan melakukan observasi untuk memperoleh informasi-informasi mengenai perasaan-perasaan subjek penelitian, Bogdan (1993) menegaskan peneliti juga melakukan pencatatan tentang perasaan perasaan subjektif dan sikap pribadi sebagai peneliti atas tema-tema yang dibahas. Selain itu tujuan observasi adalah untuk mendapat data tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. (Koentjoro, 2007).

  1. 3.      Teknik Proyeksi

Teknik proyeksi merupakan suatu alat yang memungkinkan untuk mengungkap motif, nilai, keadaan emosi, need yang sukar diungkap dalam situasi wajar dengan cara individu memproyeksikan pribadinya melalui objek diluar individu (Karmiyati dan Suryaningrum, 2002 dalam Nailatin 2004).

Marnath (1984 dalam Nailatin 2004) mengatakan bahwa melalui tes grafis dapat diperoleh gambaran mengenai “self image” dan “ideal self image”. Selain itu dapat juga diperoleh gambaran tentang diri testee yang berkaitan dengan; bagaimana cara individu menyatakan dorongan atau vitalitas, afeksi dan kognisi, sikap sosial dan seksual serta hubungan dengan keluarganya (Dayakisni dan Muttaqien : 2001 dalam Nailatin 2004).

D. Instrumen Penelitian

Alsa (2003) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian yang sejalan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Karena itu, peneliti dapat berhubungan dengan subjek penelitian dan mampu memahami keterkaitannya dengan kenyataan di lapangan. Koentjoro (2007) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti mengandalkan sepenuhnya pada informan yang memberikan informasi seputar fenomena yang tengah diteliti.

 

E. Tahapan Penelitian

Menurut Koentjoro (2007) ada beberapa tahap dalam penyelenggaraan penelitian kualitatif, yakni: (a) Tahap persiapan, (b) Tahap pengumpulan data, (c) Tahap analisa data, dan (d) Tahap pembahasan dan sosialisasi hasil penelitian.

 

F. Analisa Data

Menurut Alsa (2003) dalam penelitian kualitatif, karena data terdiri dari teks maka setelah terkumpulnya data base teks, kemudian dilakukan analisis teks dengan memasukkan kedalam kelompok-kelompok kalimat dan menetapkan arti. Keseluruhan laporan kualitatif umumnya merupakan deskripsi yang panjang untuk memberikan gambaran kompleks mengenai fenomena. Dari gambaran kompleks ini peneliti membuat interpretasi tentang makna data melalui refleksi. Refleksi berarti bahwa peneliti merefleksikan bias, nilai, dan asumsi-asumsi personal mereka kedalam penelitiannya.

 

G. Teknik Keabsahan Data

Peneliti melakukan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang menekankan adanya penggunaan lebih dari satu metode yang berfungsi sebagai rechecking terhadap informasi atau data yang diperoleh. (Koentjoro, 2007).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN

 

A. Deskripsi Data

Waria di Yogyakarta ini terdiri dari tiga macam, yaitu: waria lampu merah (sebutan untuk waria yang bekerja sebagai pengamen), waria pemilik dan pekerja salon, dan waria penjajah seks komersial.

Wilayah-wilayah yang menjadi tempat mangkal, yaitu para PSK waria di sekitar taman pintar dan taman dekat Bank Indonesia, di sekitar stasion kereta Tugu Yogyakarta, dan di stadion kridosono, dan di sekitar toko gardena. Mereka beroperasi pada malam hari sekitar jam 20.00 hingga jam 02.00 dini hari. Sedang waria lampu merah tempat, biasa terlihat di sekitar pertigaan airport Adisucipto, pertigaan Mirota babarsari, pada pagi hari mulai ngamen sekitar jam 09.00 wib atau 10.00 wib. Kadang-kadang setelah mereka ngamen di lampu merah, mereka juga ngamen dari toko-ke toko, dari rumah ke rumah. Pada malam hari, waria ini biasanya ngamen di warung-warung kaki lima/ lesehan sepanjang jalan Babarsari, di jalan adisucipto dan pada malam hari di sepanjang jalan dari mirota kampus ke arah jalan Kaliurang, mereka ngamen dari warung ke warung. Banci salon yang belum sempat diketahui dimana saja mereka bekerja.

Waria di Yogyakarta juga memilik sebuah perkumpulan yang sudah berdiri sejak novenber 2006 dengan singkatan LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria). Kebaya ini menempati bangunan rumah di kampung penunping, Gowongan, Jetis, Kota Yogyakarta. Kebaya adalah LSM yang bergerak dalam pemberdayaan waria, dan anggotanya para waria. Menjadi hal yang menarik, mengapa LSM itu bisa diterima dimasyarakat. Kantor Kebaya yang masih mengontrak itu, juga menjadi tempat transit para waria, dari sekedar beristirahat sampai tidur. Juga tempat beberapa waria yang positif HIV/AIDS dirawat. Mami Viola, menjabat sebagai Direktur LSM Kebaya sejak pertama hingga saat ini (http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/04/20582355/gowongan.lor.rumah.dan.rumah.waria.di.yogyakarta)

 

 

 

B. Pembahasan

 

1. Perilaku dan Interaksi Sosial Banci Lampu Merah.

Berangkat dari sebuah matakuliah metode penelitian dengan pendekatan kualitatif tentang cara pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumen mendalam dengan responden, maka penulis mencoba mempraktekannya. Malam itu saya sehabis mengantar seseorang bersama dengan tiga teman sekantor saya ke  Candi Borobudur, ke Pantai Depok dan Pantai Parangtritis, kemudian malamnya saya mengantar mereka lagi ke malioboro untuk beli oleh untuk anak-anaknya di Jayapura. Waktu ke Maliobaro teman saya dua orang tidak ikut. Mereka tinggal di rumah kontrakan.

Ketika kami bertiga pulan dari Malioboro tiba di rumah, saya melihat dua teman saya ini sedang bercakap-cakap dengan serang banci yang kebetulan kos juga di dekat rumah kontakan mereka. Sebelumnya mereka telah saling kenal, tegur sapa dan say hallo setiap jumpa. Jadi tidak asing bagi mereka. Waktu kami datang mereka bertiga, yaitu dua teman saya dan si banci ini mereka sedang asyik ngobrol.

Kemudian saya berkenalan dengan banci tersebut, namanya “Mbak Vera”, setelah itu saya duduk di sisi salah satu teman saya. Mengingat inti dari aplikasi pengumpulan data penelitian kualitatif maka saya mulai mengajukan pertanyaan kepada:

Mba Vera, di jogja ini ada berapa macam banci siih? Kata mbah vera, ada 2 macam. Yang satu banci “lampu merah” alias banci yang pilihan hidupnya adalah ngamen di lampu merah, ngamen dari toko ke toko, ngamen dari warung  ke warung, dari cafe ke cafe. Kerjanya khusus hanya “ngamen”. Ada lagi banci yang kerjanya menjual dirinya (banci PSK). Biasanya nongkrong di jembatan prambanan, rel kereta api stasiun lempunyangan (arah ke Surabaya), stasiun Tugu Yogyakarta (arah ke Jakarta) dan di sekitar bank Indonesia dan Taman Pintar. Tetapi Mba Vera juga menambahkan bahwa tidak semua banci itu asli, karena ada juga banci yang hanya bersembunyi dari kejaran aparat keamanan dengan merubah dirinya menjadi banci. Sehingga karakternya akan nampak jika ia melayani tamu, hati-hatilah karena dompet, Handphone atau benda-benda berharga lainnya bisa raib. Itulah yang membedakan mana banci benaran dan mana banci yang menyamar saja.

Mengapa seseorang memilih untuk menjadi banci? Menurut mba Vera, sebetulnya secara fisik mereka adalah laki-laki. Tetapi secara kejiwaan mereka memiliki jiwa dan perasaan seperti wanita. Mereka ingin tampil seperti wanita, tetapi lingkungan keluarganya selalu membuat dia tertekan. Mengapa tertekan? Karena secara fisik ia adalah laki-laki, tetapi bagaimana mungkin ia setiap saat harus berdandan dan tampil seperti perempuan lainnya.

Bagaimana proses seorang banci bisa meninggalkam fisiknya sebagai lelaki dan mulai tampil serta berdandan seperti perempuan? Jawab mba Vera, dari segi lingkungan jelas sangat tidak mendukung untuk dia berubah. Tetapi di dalam hatinya mulai terakumulasi untuk memberontak dan tampil sebagai seorang wanita. Dari pengalamannya mba Vera, pernah ada para mahasiswa di beberapa kampus ternama di Yogyakarta ini yang pernah curhat dan ditolong olehnya untuk merubah penampilan mereka dari laki-laki yang berjiwa feminim ini untuk merubah menjadi banci tulen. Biasanya para banci pemula ini bingung harus bertindak bagaimana, siapa yang bisa menolong mereka, bagaimana caranya seorang banci berhias, bagaimana caranya berpakaian yang pas dan bagaimana make up yang pantas dan cocok untuk face atau body seperti ini dan itu. Dari mereka-mereka yang pernah ditolong oleh mbah Vera, mereka pada awalnya sembunyi-sembunyi lari meninggalkan rumah atau  keluarganya untuk berdandan menjadi banci. Ada yang pernah bertanya kepada mba Vera, mereka bingung, mereka harus kemana, mereka harus ketemu dengan siapa untuk menolong mereka supaya bisa merubah penampilan mereka agar bisa tampil sesuai dengan jiwa feminim mereka. Mba Vera bilang, kalau kamu mau dan sudah siap, datang saja ke tempatku, nanti aku ajari dan aku rubah kamu jadi banci. Ada salah satu dari sekian banyak yang coba mau mencoba jadi banci, tetapi ketahuan oleh keluarganya sehingga dipukuli oleh orang tuanya sampai kakinya cedera, karena ketahuan telah berubah jadi banci. Suatu saat karena ayah telah pensiun dari dinas kepolisian, karena jiwanya sangat feminim itu mendorongnya untuk kembali tampil menjadi banci lagi. Tetapi hal itu dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Setelah berubah jadi banci, ia bekerja sebagai pengamen di jalanan sekitar perempatan mall galeri dan jalan solo. Setiap hari ia pulang bawa makanan dan uang untuk keluarga. Suatu saat ia ketahuan sama keluarganya, bahwa ia telah menjadi banci. Tetapi kali ini keluarganya tidak membenci dia, justru mereka kasihan kepadanya. Karena dalam kondisi kaki yang cedera dan walaupun gayanya berubah dan keberadaannya sebagai banci, telah menopang dan memberi kehidupan bagi keluargannya. Sampai saat ini ia masih berprofesi sebagai pengamen.

Make up yang dipakai banci apakah sama dengan yang pakai oleh wanita pada umumnya? Jawab mbak Vera, bedak dan lain-lain untuk make up yang digunakan banci berbeda. Berbeda karena kulit laki-laki dan perempuan kan berbeda. Laki-laki kulitnya agak kasar dan perempuan jelas kulitnya sangat halus.

Tetapi kenapa biasa wajah dan penampilan banci kelihatan mulus-mulus? Biasanya mereka menggunakan bedak yang sering diistilahkan dengan “dempul”. artinya dengan mengosok bedak berulang-ulang di tempat-tempat tertentu seperti wajah mereka hingga menjadi padat dan kelihatan mulus. Padahal kalau lagi tidak make up kelihatan “belang-belangnya” ujar mba Vera.

Kalau pada saat kalian berkeringat saat berdinas, bagaimana apakah bedaknya luntur ? Kalau berkeringat, jangan di bersikan dengan tangan karena akan rusak make up nya, jangan juga pakai tissue secara kasar. Biasanya mereka bawa bedak dan tissue, jika berkeringat mereka hanya menempel tissue dengan lembut pada bagian-bagian yang berkeringat. Setelah itu, mereka akan menepi dan kembali men”dempul” mukanya dan bagian-bagian tertentu yang berkeringat tadi supaya bedak yang menempel di wajah mereka kembali padat dan kelihatan mulus dan fresh lagi.

Apakah yang membedakan antara banci lampu merah dan banci rel kereta ? banci lampu merah (banci pengamen) pada umumnya secara fisik okey, tetapi banci yang di rel kereta pada umumnya jelek-jelek. Kalau banci lampu merah bisa tampil siang dan malam, sedang banci rel kereta tidak bisa tampil siang atau sore, karena akan ketahuan belang-belangnya. Makanya mereka kelihatan cantik-cantik hanya di malam hari di dalam keremangan malam.

Apakah perbedaan penghasilan banci lampu merah dan rel kereta? Menurut pengalaman mba Vera, lebih besar penghasilan banci lampu merah, dari pada penghasilan banci rel kereta. Kalau banci lampu merah setiap hari ada penghasilan rata-rata 35.000 rupiah perhari. Bisa buat makan setiap hari, bisa nabung, bisa untuk bayar kos dan lain-lain. Sedangkan banci rel kereta, minimal 20.000 ribu, itupun kalau dapat satu tamu. Nah, bagaimana kalau tidak dapat tamu? Kalaupun satu hari dapat satu tamu. Berarti pendapatannya hanya 20.000 rupiah. Untuk makan saja sudah habis,bagaimana dengan biaya kos dan lainnya. Jadi kesimpulannya masih lebih sejahtera banci lampu merah dibanding banci rel kereta.

Apa pengalaman lain mbak Vera malang-melintang di dunia per-banci-an? Dia banyak membantu mewujudkan laki-laki yang berjiwa feminim untuk tampil dan berdandan sebagai banci.  Mengajari mereka bagaimana bermake-up dan berpakaian. Dia juga sering di undang untuk ikut acara-acara fashion show di Yogyakarta dan kampus-kampus di Yogyakarta. Juga sering membantu mahasiswa laki-laki yang mau ikut kegiatan fashion show dengan mendandani serta merubah mereka menjadi wanita dalam penampilannya.

Apa suka-dukanya menjalani hidup seperti Anda? Dukanya; Jelas ada banyak gangguan dari orang-orang, menertawainlah, mengolok-ngolok, mengeluarkan kata-kata kotor, iseng-iseng menggodalah dan sebagainya. Pernah ada dua orang ngomong jorok kepada mba Vera di lampu merah, langsung dia mengambil kunci kontak motornya dan mengajar aduh jotos. Kalau kamu menang, berarti kamu laki-laki, tetapi kalau kamu kalah lebih baik jadi banci aja. Sukanya itu, kami bisa menghibur banyak orang, bisa menjadi model di fashion show, bisa membantu orang lainnya mewujudkan diri sesuai dengan jiwa feminisnya.

 

2. Perilaku dan Interaksi Sosial Kehidupan Banci PSK

Lokasi mangkal banci penjajah seks komersial (PSK), yaitu: sekitar taman pintar dan Bank BI sebelah kantor pos pusat, di rel kereta api stasiun Tugu Yogyakarta bagian arah ke Jakarta, kadang nampak juga di stasiun Lempunyangan hingga jembantan layang, ada juga yang mangkal di depan stadiun Kridosono sekitar 1-2 orang, ada juga di sekitar foto studi Duta hingga Galleri Mall, dan ada lagi yang mangkal di jembatan prambanan. Survei ini dilakukan mulai sejak lima bulan yang lalu (September 2009 – Januari 2010).

Lokasi tempat tinggal banci, penulis tidak begitu tahu persis, tetapi ada indikasi yang bisa menjadi suatu perkiraan sebagai lokasi tempat tinggal mereka. Petunjuk itu adalah, biasanya sekitar jam 20.00 – 21.00 wib mereka biasa berdatangan lewat rel kereta dari arah Jakarta dan ketika jam pulang sekitar pukul 00.00 – 02.00 wib mereka berbalik ke arah dari mana mereka datang. Dan biasanya, mereka menghilang di sekitar RW.09 Badran. Suatu siang ketika saya coba mengikuti dua orang banci dengan menggunakan motor, rupanya mereka lewat ke arah Badran dan saya kehilangan jejak mereka sekitar Badran tersebut. Jadi saya dapat keismpulan sementara bahwa, ada sebagian banci yang berdomisili di sekitar Badran. Selain itu, ada juga banci yang datang ke lokasi rel kereta Stasiun Tugu Yogyakarta melewati pintu masuk samping pasar kembang pada jam-jam yang hampir bersamaan, begitu  juga jam-jam untuk mereka pulang. Dari data yang diperoleh mereka tinggal di Sidomulyo. Untuk banci-banci  yang mangkal di tempat lain, penulis belum mendapat data lokasi tempat tinggal mereka.

Perilaku dan interaksi sosial kehidupan mereka ditengah masyarakat ada dua, yaitu intaraksi saat menjadi banci PSK dan interaksi saat tidak jadi PSK. Fokus observasi dilakukan di rel kereta Stasiun Tugu Yogyakarta. Ketika menjadi para banci PSK, mereka merias diri mereka dan berpakaian wanita dan berjalan gaya wanita. Memang, sebagai kroscek dari informasinya mba Vera, dandanan mereka memang terlihat seperti apa yang dijelaskan mba Vera. Antara lain muka mereka mulus mungkin karena di dempul. Tarif yang mereka kenakan 20.000 rupiah sekali main pertamu. Sempat juga di lokasi rel kereja Stasiun Tugu terdengar ada ribut-ribut antara banci dan pelanggan gara-gara dompetnya diambil banci tanpa ijin (dicuri), mereka juga membentuk kelompok sambil minum bareng anggur merah. Rupanya banci PSK ini juga suka minum-minuman yang beralkohol. Ketika di tempat parkir di sekitar pasar kembang, pada malam hari ada banci PSK juga yang duduk minum-minuman keras dengan para lelaki, yang kelihatannya seperti preman atau juga mungkin para penjajah seks yang suka pada PSK Banci. Lokasi menjadi tempat melayani tamu bukanlah di hotel atau rumah, tetapi di tempat remang-remang atau tempat gelap di sekitar rel yang tidak ada rumah atau tempat khusus. Dari keadaan ini, dapat kita prediksi bahwa tempat yang digunakan untuk para banci PSK ini melayani tamunya adalah tidak beda jauh dengan cara kawinnya binatang atau hewan tetapi yang membedakan itu, Banci PSK dan tamunya itu main di tempat yang gelap-gelap dan jauh dari penglihatan orang lain. Berarti mereka masih punya rasa malu.

Penampilan banci PSK siang hari pada saat tidak bertugas, berdasarkan beberapa pengamatan menunjukkan bahwa pada siang hari mereka terlihat jelas mukanya, penampilannya dan sebagainya. Mukanya memang terlihat kurang baik, ada yang memang mungkin disuntik dengan silikon sehingga bibirnya, dagunya, hidungnya, pipinya kelihatan agak menonjol dan tidak serasi dan terlihat menggelikan dan sangat tidak menarik. Disini kita bisa buat perbedaan, bahwa berbeda memang penampilan Banci PSK pada siang hari dan malam hari. Karena pada malam hari mereka tidak terlihat kejelekannya, karena sudah di “dempul” dan “bergaya di remang-remang”. Coba jika bertemu mereka di siang hari, rata-rata waja dan penampilan mereka terlihat sekali kejelekannya. Bagi para penjajah seks Banci PSK, coba sekali-sekali datang bertemu mereka siang hari, dijamin pasti kapok dan tidak mungkin datang lagi, kalau bukan maniac.

Penampilan para banci pada siang hari dilingkungan, mereka tampil biasa tanpa make up. Jadi kelihatan benar laki-lakinya. Mereka berpakaian celana pendek atau celana panjang tanpa make up, naik motor, ke pasar dan sebagainya. Komunikasi dengan masyarakat adalah hal yang biasa, karena mereka tidak malu berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Dan mungkin, kehidupan mereka dilingkungan dimana mereka tinggal sudah diterima keberadaannya. Sehingga dalam komunikasi dengan tetangga dan lingkungan tidak begitu dipermasalahkan. Sekalipun cara bicara dan gaya jalannya tetap a seperti perempuan.

 

3. Kritik  Terhadap Banci

Semua kita tahu bahwa, jenis kelamin manusia hanya ada pria dan wanita. Tidak ada jenis kelamin waria atau banci. Sejak semula, sang pencipta menciptakan hanya dua jenis manusia yang dinamakan  dia Adam dan Hawa. Adam itu laki-laki dan Hawa itu perempuan. Prosen penciptaan perempuan menurut ajaran agama adalah diambil dari satu tulang rusuk Adam. Sang Pencipta Manusia tidak mengambil lagi tulang rusuk dari Adam lalu menciptakan “Banci atau Waria”. Jika sekarang ada waria berarti ini salah dan melanggar kodrat Sang Pencipta. Ini berarti telah terjadi pelanggaran, atau penyimpangan dari rencana dan maksud Sang Pencipta. Sang Pencipta menciptakan manusia Adam dan Hawa dan memerintakan kepada mereka supaya beranak cucu. Apakah banci-banci menikah bisa beranak cucu? Ini suatu penyimpangan seksualitas. Agama manapun tidak pernah menyetujui atau mengakui adanya banci. Semua agama menganjurkan supaya para banci kembali kepada kodratnya sebagai laki-laki. Walaupun upaya-upaya itu sudah dilakukan tetapi tetap saja ada yang kembali ke dunia ke-banci-annya.

Di televisi pernah ada sebuah program yang kita kenal dengan “be man” itu adalah upaya TV untuk membuat para banci kembali menjadi laki-laki tulen bukan tetap banci tulen. Selain itu, ada acara termehek-mehek dan realigishow juga di TransTV yang pernah menelusuri kisah seorang anak laki-laki yang setelah dewasa melarikan diri dari rumah dan bergabung dengan para waria pengamen yang berjalan berkelompok dari satu tempat ke tempat lain. Yang akhir ditemukan dan diarahkan untuk kerja di sebuah salon. Dimana salon itu pekerjanya adalah para waria. Ini sebuah dilema. Ini adalah usaha-usaha yang kelihatan sulit dan berat untuk mengatasi dan membawa banci kembali menjadi lelaki sejati. Sekalipun demikian, agama manapun tidak mengakui adanya keberadaan banci. Agama-agama menganjurkan agar para banci bertobat dan kembali kepada kodratnya sebagai lelaki. Apakah disurga ada tempat untuk banci? Sedangkan banci merupakan sebuah penyimpangan dan mungkin juga banci merupakan “dosa”. Kalau kehidupan banci adalah dosa, jelas ia tidak mendapat bagian tempat di surga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

 

A. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan dalam kajian teori dan hasil penelitian menunjukan bahwa, waria memiliki karakter perilaku yang hampir sama di berbagai wilayah di seluruh Indonesia bahkan sampai tingkat dunia. Waria di Yogyakarta juga mengalami perlakuan yang sama. Kadang diolok-olok, kadang ditertawain, sekaligus juga menjadi hiburan dan juga sebagai penyedia  lapangan kerja bagi orang lain di salon-salon yang mereka punya.

Yang jelas di Yogyakarta ini ada banci yang asli bekerja berprofesi sebagai banci entah di salon, di lampu merah ataupun banci sebagai PSK.  Tetapi ingat, bahwa ada banci yang tidak asli alias buronan yang bersembunyi dari kejaran aparat dan menyamar sebagai banci. Tidak semua banci itu berlaku meresahan tetapi ada juga yang baik dan bermanfaat bagi banyak orang karena dapat menghibur orang banyak.

Dari segi agama, banci adalah sebuah penyimpangan seksual. Dan banci melanggar kodrat Sang pencipta. Pencipta hanya menciptakan laki-laki dan perempuan,tidak menciptakan banci.

 

 

B. Saran

Jangan menilai waria dan ketidaknormalannya saja, tetapi kita harus berusaha menyadarkan mereka. Ada yang terjun ke dunia waria karena terpaksa, karena hanya menjadi tempat persembunyian, dan sebagainya.

Hargai waria, karena mereka juga manusia, punya hak yang sama dilindungi oleh negara. Marilah kita berusaha menerima keberadaan waria di sekitar dimana kita berada dan berusaha untuk membawa mereka ke jalan yang benar.  Untung saja mereka itu yang jadi waria dan bukan saya atau pembaca tulisan ini. Semoga tulisan ini berguna.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alsa, A. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003.

 

Bogdan, R. & Taylor, S. Kualitatif (Dasar-dasar Penelitian) (terjemahan), (Surabaya;Usaha Nasional), 1993.

 

http://id.wkipedia.org/wiki/perilaku_manusia

 

http://mubarok-institute.blogspot.com/2007/04/perilaku-manusia-2.html

 

http://osdir.com/ml/culture.religion.healer.-mayapada/2007-04/msg00159.html

 

http://afand.cybermq.com/post/detail/2772/penyakit-sosial

 

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/12/03/22225393/waria.tidak.miliki.kesempatan.bekerja.normal Kalau Evi, ya Evi saja.Berita pada Harian Kompas tertanggal 07 April 2002.

 

Sedia, Toilet Khusus Waria

http://id.wikipedia.org/wiki/Waria

Koentjoro, Triangulasi, Metaphora dan Mapping dalam Penelitian Psikologi, Pekerja Sosial dan Gender, (Handout Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG), 2007.

 

Koentjoro, Prosedur Penyelenggaraan Penelitian Kualitatif, (Handout Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG Surabaya), 2007.

 

Koentjoro, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Handout Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG Surabaya), 2007.

 

Koentjoro, Metode Triangulasi: Sebuah Pendekatan Holistik dalam Memahami Phenomena Sosial dan Konstruksi Psikologis, (Handout Mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG Surabaya), 2007.

 

Moleong, L.J., Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. VII (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya), 1996.

 

Nailatin, Tes Proyektif, (Handout Mata kuliah Tes Proyektif, IAIN Surabaya), 2004.

 

Nawawi, H.H & Martini, H.M., Penelitian Terapan, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press), 1994.

 

Oetomo, D. Memberi Suara pada yang Bisu. (Yogyakarta: Pustaka Marwa), 2003.

 

KRITERIA UNTUK MENILAI VALIDITAS INTERPRETIF DALAM PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian

Oleh Pilipus Maurits Kopeuw

 

 

 

 

Topik : Kriteria untuk menilai validitas interpretif dalam penelitian kualitatif

By David L. Altheide & John M. Jonhson

Sumber :Norman & Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative Research. Jakarta:Pustaka Pelajar (hal.637 – 656)

 

POGO mungkin mempunyai banyak mahasiswa etnografi ketika menyatakan, “Kita telah menemukan sang musuh, dan musuh tersebut adalah kita sendiri.” Setelah beberapa dasawarsa mengalami perdebatan akademik dan paradigmatik, penelitian etnografi dan kualitatif akhirnya menduduki posisi yang mencengangkan. Prestasi ini tak diduga oleh semua pihak, terutama oleh para pakar yang menggelutinya, yang selama beberapa dasawarsa sudah terbiasa dengan statusnya yang rendah,  tak dihargai dan marginal. Muncul minat baru yang luar biasa dengan  penelitian etnografi dan kualitatif. Bahkan, minat tersebut muncul dalam disiplin-disiplin keilmuan (seperti pendidikan, kajian tentang keadilan, kerja klinis, kajian hukum, analisis kebijakan) yang praktek dan penerapannya kurang berkembang. Pertumbuhan minat ini telah disaksikan oleh kalangan pakar yang lain. Bukti kecenderungan tersebut dapat dikaji dan diuraikan dari banyak sumber. Namun, seperti yang ditengarai oleh POGO, para mahasiswa etnografi justru telah menjadi pengkritiknya yang paling tajam, yang seringkali memunculkan persoalan-persoalan yang ephistemologis menyangkut problematika ‘obyektifitas,’ tujuan ilmu pengetahuan’ dan memilah-milah wawasan baru tentang konteks, logika dan format komunikasi.

Kritik baru terhadap metode, substansi, gaya, praktik, dan relevansi etnografiatau kualitatif pun mengemuka. Kritik tersebut tidak muncul dari musuh tradisionalnya, yakni kalangan positivis yang mengambinghitamkan penelitian kualitatif karena kegagalannya memenuhi sebagian atau seluruh kriteria positivistik umum tentang kebenaran, namun muncul dari pihak yang terlibat dengan gerakan etnografi itu sendiri. Kecenderungan ini sejalan dengan ‘aliran refleksif’ yang lebih ekstrem dan baru dalam praktek etnografi kira-kira 20-25 tahun lalu. Aliran refleksif ini telah memperkaya pemahaman kita tentang seluk-beluk pelaksanaan penelitian kualitatif secara aktual, namun yang sejauh ni juga memunculkan dilema baru tentang penyajian dan legitimasi (sudut pandang atau pesan). Secara lebih spesifik, pertanyaan-pertanyaan penting telah diajuhkan menyangkut peran pakar etnografi atas laporan yang dihasilkan, landasan bagi klaim-klaim ilmu pengetahuan, dan bagaimana perspektif relativistik dalam etnografi dapat memproduksi temuan-temaun yang kuat.

Tujuan tulisn adalah untuk mengkaji dan memecahkan sebagian dilemah tersebut karena kami menghadapinya dalam tugas penelitian kami, dan juga menawarkan saran untuk menilai produk-produk etnografis. Tujuan kami untuk menjernikan ranah eksistensi yang penuh makna ini memunculkan persoalan-persoalan khusus, karena kami mengesampingkan rumusan-rumusan tentang ilmu pengetahuan objektif. Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana metodologi interpretif sebaiknya dinilai oleh kalangan pembaca yang juga memegang teguh perspektif yang menyatakan bahwa bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh, disusun, dan diinterpretasikan sesungguhnya relevan dengan klaim-klaimnya? Berikut ini posisi kami: sepanjang kita berupaya keras untuk mendasarkan klaim dan interpretasi kita tentang kehidupan sosial pada segala jenis data, maka kita pasti memiliki logika dan argumentasi untuk menilai dan mengkomunikasilan proses interaktif yang digunakan peneliti dalam memperoleh pengalaman dan informasi penelitian. Jika kita ingin memahami ‘cara-cara terincih yang ditempuh oleh manusia dalam melakukan tindakan yang penuh makna dan menciptakan dunianya sendiri atau dunia yang sama-sama dialami dengan/oleh orang-orang lain (Morgan, 1983, hlm.397), maka kita harus mengakui bahwa ‘perhatian yang memadai pada upaya-upaya untuk mengembangkan kriteri untuk menilai kualitsa dan kekekatan umum penelitian interpretif sejauh ini ternyata belum diberikan’ (Morgan, 1983, hlm. 399).

Sarana konseptual utama kami adalah ‘objektivitas’ dan persoalan-persoalan terkait. Kami mengajukan sebuah perspektif untuk menilai penelitian kualitatif, namun perhatian utama kami lebih dititikberatkan pada uoaya menciptakan batasan-batasan operasional tertentu untuk mendekati persoalannya. Kami menkaji butir-butir persoalan yang dimunculkan oleh sejumlah paparan kritis, terutama beberapa tulisan muktahir yang ditulis oleh para pakar ‘post modernis.’ Dengan mengikuti tinjauan umum terhadap beberapa pandangan alternatif tentang validitas yang ditawarkan oleh para pengkritik ini, kami mengambil posisi yang berbeda menyangkut  isu validitas. Kami mengusulkan beberapa pedoman umum untuk menilai penelitian etnografi dan mengkaji persoalan utama untuk mengukuhkan rancangan-rancangan alternatif bagi pendekatan klasik terhadap ilmu sosial ini, dengan merumuskan landasan maksud/tujuan bagi etika etnografi yang dapat ditempatkan dalam ekologi ilmu pengetahun. Kemudian kami memusatkan perhatian pada model etnografi, yakni realaisme analitik, yang didasarkan pada pandangan bahwa dunia sosial merupakan dunia hasil interpretasi, bukan dunia murni itu sendiri.

 

Etnografi Dalam Perspektif

 

Sepanjang para pakar melaksanakan penelitian kualitatif dan etnografi, maka mereka sesungguhnya telah mengkaji proses penelitian. Pada awal pergantian abad (XX) dan sepanjang beberapa dasawarsa berikutnya, ilmu pengetahuan dan wawasan tentang proses dan masalah penelitian kualitatif telah diterbitkan secara tertulis, sekaligus dikomunikasikan secara lisan.dalam antropologi, Frans Boaz dan mahasiswa-mahasiswa menyampaikan secara lisan tradisi etnografi mereka yang menyeluruh dan dinamis. Harus diakui bahwa kalangan antroplog dan sosiolog, meskipun mereka secara historis berbeda prefensinya atas masyarakat ‘eksotik/asing’ atau ‘kelas bawah perkotaan,’pendekatan mereka tetap saja nyaris sama. Dalam sosiolog, Robert Park dan banyak penelitia kualitatif mazhab Chicago juga mengkomunikasikan wawasan dan pandangan mereka kepada kalangan sendiri dan para pengikut baru. Sepanjang 1960-an hingga 1970-an, muncullah ulasan dan analisis etnografi yang lebih tajam, yakni aliran refleksif dalam penelitian kualitaif.

Satu makna refleksivitas  adalah bahwa peneliti ilmiah merupakan bagian dan anggota dari setting konteks, dan kebudayaan yang dicoba dipahami dan direpresentasikan olehnya. Dengan memegang teguh aliran refleksif, para peneliti kualitatif yang semakin bertambah jumlahnya pun mulai mengapresiasi apa makna reflesivitas bagi validitas penelitian etnografi dan kualitatif.  Mucullah apresiasi baru terhadap persoalan-persoalan  dan isu lam dalam etnografi, hal ini karena semakin banyaknya kalangan pakar yang menyadari bahwa persoalan tradisional menyangkut perizinan masuk atau akses ke dalam setting/konteks, relasi-relasi pribadi dengan para anggota dalam setting, bagaimana data penelitian lapangan dipahami dan dicatat, dan sejumlah persoalan pragmatis lainnya ternyata menimbulkan implikasi penting terhadap sesuatu yang dilaporkan oleh seorang peneliti sebagai ‘temusn-temuan’ penelitian. Kesadaran yang semakin tumbuh ini turut memberikan sumbangsih bagi munculnya  masa kreatif, dinamis kritik-diri serta refleksi-diri  di kalangan pakar etnografi.

Bagi peneliti kualitatif kontemporer yang peka dengan proses penelitian, masa 25 tahun yang telah lewat, khususnya, telah menghasilkan banyak publikasi yang berupaya menganalisis hubungan akrab antara proses penelitian dengan temuan-temuan yang dihasilkan. Muncul banyak sekali laporan penelitian yang membahas proses-proses penelitian, dari ‘ peran keanggotaan dalam tugas lapangan’ (baca ‘Adler & Adler, 1987) hingga ‘meninggalkan setting/konteks penelitian (Altheide, 1980). Banyak pakar etnografi telah berusaha untuk memecahkan persoalan-persoalan validitas  dan kebenaran ini dengan kejujuran dan integritas yang tak diragukan lagi. Hasilnya, kini kita lebih banyak memahami  kompleksitas dan nuansa makna  dari proses penelitian kualitatif, dan bagaimana pemecahan persoalan-persoalan penelitian pragmatik ternyata bersentuhan dengan masalah-masalah validitas dan penelitian lapangan (baca Clifford & Marcus, 1986; Geertz, 1973). Kontribusi John Van Maanem yang berjudul Tales the Field (1988) mencerminkan satu upaya demi perkembangan etnografi sosiologis sebagaimana kumpulan tulisan Clifford dan Marcus, Writing Culture (1986), telah memberikan sumbangsihnya bagi etnografi antropologis.

Karya-karya diatas dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya telah menggiring menuju perdebatan yang tajam menyamngkut hakekat etnografi, terutama etnografi yang dibaca oleh para pakar muda dan sebayanya yang tidak akrab dengan berbagai analisis refleksivitas awal yang diterbitkan oleh kalangan pakar interaksionisme simbolis, etnometodologi, dan fenomenologi pada 1970-an (baca Joegensen, 1989). Yang termasuk ke dalam isu-isu paling muktahir menyangkut penelitian etnografis adalah representasi, atau persoalan dalam merepresentasikan realita pengalaman nyata dari setting yang diteliti, dan pelaporan, atau bagaimana bahasa yang digunakan oleh ilmuan sosial secara otomatis bisa saja menyertakan sifat-sifat retoris. Yang menjadi benang merah dari kedua isu diatas adalah isu-isu turunannya menyangkut interpretasi  dan  suara (voice), atau sudut pandang siapa yang diambil untuk melaporkan temuan-temuan penelitian (Snow & Morrill, 1993, hlm.8). dari sudut pandang ini, etnografi pun menyajikan “cerita” atau “kisah-kisah” naratif yang dituturkan, sebagian agar cocok dengan genre penceritaan (storytelling). Dengan demikian, persoalannya adalah apabila gaya atau genre yang dipilih untuk menyampaikan paparan etnografinya berbeda, kitapun akan memiliki sajian pandangan atau kisah yang berbeda pula. Ringkasnya, sesuatu yang diklaim sedang  dilakukan oleh para pakar etnografi dalam kasus-kasus semacam itu adalah menawarkan sebuah ‘teks’ yang pada gilirannya dibaca dan ditafsirkan oleh para pembaca atau audiens, yang karena mengandalkan kapasitas interpretif dan pemahaman mereka sendiri, akan mendapatkan makna-makna atau ‘pembancaan’ mereka sendiri yang unik terhadap teksnya.

Secara keseluruhan, dengan mantap dapat kita katakan bahwa tulisan-tulisan yang lebih muktahir ini telah menyadarkan kita akan fakta bahwa ada lebih banyak hal terkait dengan etnografi daripada sekadar ‘apa yang terjadi dilapangan.’ Sisi penting etnografi yang lainnya adalah sesuatu yang terjadi ‘berikutnya di kantor’ ketika peneliti atau pengamat ‘menuliskan peristiwa yang ditelitinya.’

 

Mencari Validitas Interpretif

 

Kriteria tradisional tentang kecukupan dan validitas metodologis dirumuskan dan pada intinya ‘dimiliki’ oleh positivisme, yaitu sudut pandang filosofi, teoritis dan metodologis yang telah menjustifikasi dan mengakui penggunaan metode-metode kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad XX. Dengan mengedepankan model ilmu pengetahuan sebagai ilmu-ilmu kealaman/fisik abad XX, positivisme berusaha untuk mengembangkan hukum-hukum universalistik, yaitu hukum-hukum yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa aktual atau nyata di dunia dalam pola deduktif dengan menerapkan hukum-hukum universal yang menegaskan hubungan yang pasti dan tidak bermasalah. Melalui penggunaan beragam teknik yang memproduksi data numerik (dalam bentuk angka) yang dianggap merepresentasikan pengukuran hakiki bagi kategori-kategori objektif, para pakar positivis lebih memilih data yang bermakna yakni data yang memberikan makna ‘ilmu pengetahuan empiris.’ Perspektif ini mencakup keyakinan umum yang menyatakan bahwa ‘reliabilitas’ atau stabilitas metode dan temuan penelitian merupakan indikator ‘validitas’ atau akurasi dan kejujuran hasil-hasil temuan.

Kalangan pakar etnografi lazimnya menempuh pendekatan yang berbeda. Segolongan kecil pakar bahkan ragu bahwa ada realita yang dapat diketahui/dipahami. Sebagian besar pakar etnografi memusatkan perhatian pada proses yang ditempuh oleh peneliti dalam mengkonstruksi atau melaksanakan aktivitas-aktivitas mereka. Fokus perhatian pada apa yang disebut oleh sebagian kalangan dengan ‘penentuan situasi, ini diorientasikan pada makna dan interpretasi para anggota peneliti yang hidup  dan tinggal di dalam konteks-konteks khusus historis, sosial, dan kultural, yang sekaligus menghadapi beragam tantangan dan hambatan/keterbatasan praktis. Bergantung pada deskripsilah – meliputi deskripsi bahasa, nuansa, dan, tentu saja, aktivitas rutin – para pakar etnografi mendasarkan laporan-laporan penelitian mereka. Sebagaimana komentar yang dilontarkan oleh antropolog Laura Nader (1993) tentang kumpulan penelitian lapangan:

Secara perlahan-lahan konsep ‘etnografi’ telah mengalami reduksi makan dalam beberapa tahun terakhir dan dalam proporsi yang sebanding dengan popularitasnya… Etnografika bukanlah etnografi…. Para pakar antropologi kurang terobsesi dengan sikap ilmiah dibanding dengan para koleganya dalam ilmu-ilmu sosial, namun lebih terfokus dan berminat pada upaya pencatatan dan penafsiran cara hidup orang lain – etnografi, demikian kami menyebutnya. Etnografi mencakup pembauran total  dan jarang diselesaikan dalam waktu yang singkat. Etnografi merupakan sejenis deskripsi khusus, jangan dikacaukan dengan penelitian kualitatif dan deskriptif jenis lain. Tujuan etnografi, menurut kata-kata Molinowski, adalah untuk memahami sudut pandang orang pribumi, hubungannya dengan kehidupan, agar dapat menyadari visinya tentang dunia(nya). Antropologi merupakan upaya empati sekaligus analisis. (hlm.7)

 

Dengan demikian, unsur utama metodenya adalah menyaksikan peristiwa yang terjadi secara langsung; jikalau tidak memungkinkan, para pakar etnografi pasti akan bertanya kepada para informan dan responden lainnya menyangkut ingatan, sudut pandang dan interpretasi mereka. Meskipun sifat dapat diprediksi (prediktabilitas) yang dicari oleh kalangan positivis tidak menjadi perhatian utama. Para pakar etnografi berpandangan bahwa pendekatan mereka menghasilkan ilmu pengetahuan sebagai pemahaman, bukan kontrol. Meskipun para pakar etnografi menyadari bahwa hakikat kerja ilmiah mereka yang bercirikan kontekstual seringkali mendadak/urgen menjadikan presisi yang melampaui ekspektasi yang masuk akal tetapi tidak praktis, mereka tetap saja menulis –  dan berbicara – secara percara diri dan penuh otoritas mengenai paparan ilmiah mereka dihadapan audiens yang simpatik.

Sifat dasar konteks, tujuan, dan perspektif ini, dan hakikat audiens yang relevan pun telah dipersoalkan dalam beberapa tahun belakangan ini. Fakta sosial etnografi menunjukan bahwa etnografi (sebagai aktivitas keilmuan) dijalankan oleh manusia yang menyaksikan berbagai konteks, yang bertumpuk satu sama lain – sekaligus berjalin berkelindan. Waktu, tujuan, pendekatan, bahasa, gaya, dan loyalitas saling berpengaruh dan terkait erat. Terkait dengan itu, sejumlah kecil kritikus yang terus mengalami peningkatan jumlah berpandangan bahwa sifat refleksif  dasar dari semua paparan etnografi menjadikan karya-karya tulis tersebut tidak hanya ‘tidak objektif’ namun juga memihak, parsial, tidak lengkap, dan benar-benar terkait sangat erat dengan konteks dan prinsip dasar peneliti, yaitu konteks-konteks yang direpresentasikannya (meskipun secara tidak sadar) dan genre retoris yang menampilkan dan menguraikan secara panjang lebar cacat dan kelemahan laporan-laporan etnografi itu sendiri.

Positivisme menjawab persoalan validitas dari sudut reliabilitas; metode dan temuan yang reliabel (dapat diulang, dapat digeneralisasikan) merupakan metode/temuan yang sahih. Kesadaran luas akan konstruksi sosial realita yang saat ini berlaku dan kebingungan dalam memahami ‘refleksivitas’ secara ironis telah menggiring menuju sikap antifungsionalis yang radikal. Sikap ini mengklaim bahwa ilmu pengetahuan, bahkan proses ilmu pengetahuan sekalipun, berjalan tanpa landasan, tanpa otoritas, dan oleh karenanya, apa saja ‘boleh.’ Maksudnya adalah, “ilmu pengetahuan” itu sendiri bukan merupakan satu-satunya kriteria, karena semua “klaim ilmu pengetahuan” didasarkan pada beragam asumsi. Sebagian besar kritikus pasti sepakat bahwa ilmu pengetahuan “tanpa assumsi” adalah mustahil, meskipun mereka juga berkeyakinan bahwa penelitian dan penyelidikan memang dibutuhkan.sesungguhnya yang telah berubah adalah  tujuan penelitian, dan apa saja standar untuk menilai tujuan penelitian tersebut. Penelitian tidak lagi bergandeng tangan dengan ilmu pengetahuan, namun telah menghadapi berbagai pilihan (misalnya, pembebasan, emansipasi, strategi penyusunan kebijakan/program, seni, ekspresif). Karena bergantung pada pilihan penelitinya, maka penelitian ditentukan sesuai dengannya. Namun, di mata banyak pakar etnografi ilmiah, pandangan Hammersley (1992) tetap meyakinkan: “Sebuah paparan ilmiah dipandang sahih atau benar jika mempresentasikan secara akurat sifat-sifat fenomena yang ingin dideskripsikan, dijelaskan, atau dirumuskan teorinya” (hlm. 69). Namun, bagi banyak pakar lainnya pula, visi tentang’realisme’ ini tidak lagi menarik perhatian.

Seluruh perhatian dan klaim atas ilmu pengetahuan merupakan cerminan proses, asumsi, lokasi, sejarah, dan konteks pengetahuan dan yang mengetahui (peneliti/ilmuan) itu sendiri.  Dari sudut pandang ini, validitas bergantung pada komunitas interpretif atau audiens-pihak yang mungkin saja bukan peneliti atau akademisi – dan tujuan penelitian. Validitas akan sangat berbeda di mata audiens yang berbeda pula. Dari sudut pandang yang lain, yaitu sudut pandang yang kami tawarkan, sebuah konsepsi tentang validitas yang lebih sempit sesungguhnya lebih terkait erat dengan peneliti/rancangan penelitian atau audiens akademik.

Nilai-nilai yang berbeda yang terungkap dalam paparan tentang atau upaya untuk mencari validitas sebenarnya telah dikaji oleh banyak peneliti yang menitikberatkan pada kekuasaan, meliputi kebudayaan, ideologi, gender, bahasa/teks, dan relevansi/advokasi. Berbagai tulisan oleh para pakar kebudayaan termasuk tulisan-tulisan yang terkait erat dengan ideologi, termasuk feminisme, telah berupaya untuk mengidentifikasi landasan dan asumsi tersirat dari klaim-klaim validitas/ilmu pengetahuan. Karena lebih seringnya menempuh jalan yang sama, bukannya berbeda, maka titik-titik keberangkatan tulisan para pakar di atas seringkali bertemu. Yang menjadi dasar argumentasi dari banyak paparan tersebut adalah bahwa validitas seyogianya dikesampingkan sma sekali sebagai sebuah konsep yang praktis atau dikualifikasi secara radikal, ataupun “dipisahkan dengan tanda penghubung.” Sebagian besar dari ungkapan berikut ini telah dilontarkan, secara sinis, dengan menggunakan kata-kata gabung seperti validitas pengganti, validitas katalitik, validitas terinterogasi, validitas transgresif,, validitas imperiel, validitas simulasi/ironis, validitas tempat, dan validitas yang penting menyenangkan(baca Atkison, 1990, 1992; Eisner & Peshkin, 1990; Guba, 1990; Hammersley, 1990, 1992; Lather, 1993; Wolcott, 1991). Sikap-sikap utama terhadap validitas diuraikan berikut ini.

Validitas-sebagai-kebudayaan (VAC: Validity-as-culture) sangat terkenal dikalangan pakar ilmu sosial. Menerapkan,  mereproduksi, Klaim dasarnya menyatakan bahwa pakar etnografi merefleksikan, menulis dan kemudian membaca sudut pandang kebudayaan sendiri untuk ‘others (pihak lain).’ Sudut pandang merupakan terdakwa dalam validitas. Solusinya mencakup upaya-upaya untuk menyertakan lebih banyak sudut pandang, meliputi upaya untuk menilai kembali cara peneliti memandang misi dan tema penelitian. Atkinson (1992) menyatakan bahwa etnografi dapat dimitoskan, “namun rasa akan kontinuitas kelas hampir tidak lebih kuat dalam genre Inggris daripada dalam genre Amerika yang lebih terfokus pada rasa akan tempat” (hal.34).

Validitas-sebagai-ideologi (VAI: Validity-as-ideology) sangat mirip dengan VAC, kecuali bahwa fokus perhatiannya lebih tercurah pada sifat-sifat kultural tertentu yang meliputi kekuatan sosial, legitimasi, dan asumsi-asumsi tentang struktur sosial, semisal bawahan/atasan.

Validitas-sebagai-gender (VAG:validity-as-gender), mirip dengan VAC dan VAI, memusatkan perhatian pada berbagai asumsi yang diterima apa adanya yang diajuhkan oleh para peneliti ‘berkompeten’ dalam menjalankan tugas konseptual dan pengumpulan data mereka, meliputi beberapa persoalan menyangkut kekuasaan dan dominasi dalam internal sosial. Satu kepeduliannya adalah bahwa aspek-aspek kekuatan sosial yang timpang ini dapat dipulihkan kembali dan lebih jauh dikukuhkan serta dilegitimasi.

Validitas-sebagai-bahasa/teks, (VAL: validity-as-languagr/text), senada dengan semua validitas yang diuraikan dimuka, terutama menyangkut bagaimana kategori kultural dan pandangan tentang dunia, seperti yang tersurat dengan tegas dalam bahasa dan, secara lebih luas, dalam ‘wacana’ membatasi keputusan dan pilihan yang membingkai segala sesuatu.

Validitas –sebagai-relevansi/advokasi (VAR: validity-as-relevance/advocacy), menekankan kemanfaatan dan ‘pemberdayaan’ penelitian agar bermanfaat dan mengangkat martabat kelomok-kelompok yang seringkali menjadi obyek penelitian-yaitu orang-orang yang relatif tak berdaya, seperti kaum miskin atau petani.

Validitas-sebagai-standar (VAS; validity-as-standards), menegaskan bahwa harapan akan otoritas yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, atau peneliti yang dilegitimasi oleh ‘jubah kehormatan’ ini, patut dicurigai, dan bahwa klaim-klaim kebenaran itu sedemikian banyaknya sehingga meruntuhkan otoritas atau prosedur yang tunggal. Dalam kasus ekstrem, sains tidak lagi berfungsi sebagai model yang disukai bagi ilmu pengetahuan, karena yang paing utama pemahamanlah, bukan informasi yang terkodifikasi dan terintegrasi secara teoretis-sebagai pengetahuan-yang lebih dikehendaki.

 

 

 

 

 

8 PERTANYAAN UMUM TENTANG PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian

By Pilipus Kopeuw

Jogja – Selasa 22 September 2009 – 13:35 wib

e-mail: pilipus_kopeuw@yahoo.com

https://pealtwo.wordpress.com

mobile : 085 292 450 103

 

 

Delapan (8) pertanyaan umum tentang penelitian kualitatif, yakni:

  1. Bisakah penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatifdigunakan bersama ?  (bisa)
  2. Apakah penelitian kualitatif benar-benar ilmiah? (Ya) karena pengertian ilmiah adalah kebenaran yang diungkapkan dan ada maknanya. Penelitian kualitatif bisa ilimih apabilah menunjukkan hal-hal tertentu dengan bukti-bukti yang benar. Contoh : orang kristen agamis seperti apa? Apakah para pastor/pendeta dan hamba tuhan lain memiliki ciri-ciri agamis tersebut?. Karena semua data di kumpulkan, makanya jangan dibuang datanya.
  3. Apa bedanya penelitian kualitatif  orang seperti guru dan artis?
  4. Apa temuan penelitian kualitatif di generalisikan?(tidak dan jangan coba menggeneralis)
  5.  Bagaimana tentang bias, prasangka, pandangan peneliti dan pengaruhnya pada data! (Harus diatasi, salah satu cara, mengamati dulu….jangan langsung wawancara).
  6. Bukankah keberadaan peneliti nerubah keberadaan orang yang diteliti? (tidak0
  7. Apakah dua penelitian yang mengkaji setting atau subyek yang sama, mencapai temuan yang sama, (belum tentu, karena background beda, konsep beda, amatan beda dan dsb)
  8. Apa beda penelitian kuantitatif dan kualitatif

 

KERANGKA REVIEW UNTUK TUGAS KELOMPOK DAN PRIBADI

Penelitian

By Pilipus Kopeuw

Jogja – Selasa 22 September 2009 – 13:12 wib

e-mail: pilipus_kopeuw@yahoo.com

https://pealtwo.wordpress.com

mobile : 085 292 459 103

 

 

Penelitian Kualitatif

 

Judul

Tujuan

Metode

hasil

Komentar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penelitian Kuantitatif

 

Judul

Tujuan

Metode

hasil

Komentar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Observasi yang baik tidak diketahui, agar tidak terganggu secara psikologi.

Hidden Observer adalah pengamat yang tersembunyi sehingga pengamatan berjalan alamia.

 

Kualitatif instrumennya adalah subyeknya dan datanya Obyektif. Peneliti harus benar-benar obyektif, tidak boleh ada keinginan untuk memanipulasi data. Peneliti adalah ujung tombak yang bertanggungjawab kapanpun untuk hasil penelitiannya. Oleh karena itu, diperlukan :

  • Kemampuan logika Anda
  • Substansi Anda
  • Metodologi yang bagus

CIRI – CIRI PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian

By Pilipus Kopeuw

Jogja – Selasa 22 September 2009 – 09:17 wib

 

Sekedar memberikan gambaran dan penjelesan mengenai penelitian kualitatif, ada baiknya kita kemukakan ciri-ciri pokok penelitian ini. Ada lima (5) ciri pokok dari penelitian kualitatif, yaitu:

  1. penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamish sebagai sumber data langsung. Situasi pendidikan baik dalam keluarga, lingkungan, sekolah, masyarakat, sebagaimana adanya (alami) tanpa dilakukan perubahan dan intervensi oleh penelitia, merupakan obyek bagi penelitian kualitatif.
  2. penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Data yang diperoleh dari penelitian kualitatif seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, cuplikan tertulis dari dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian dan tidak dituangkan dalam bentuk dan bilangan statistik.
  3. TEKANAN penelitian kualitatif ada pada PROSES, bukan pada hasil. Seperti telah disinggung pada butir 2 bahwa dalam penelitian kualitatif DATA dan INFORMASI yang diperlukan berkenaan dengan pertanyaan APA, MENGAPA dan BAGAIMANA
  4. penelitian kualitatif sifatnya INDUKTIF. Penelitian kualitatif tidak dimulai dari suatu teori, tetapi dimulai dari lapangan, mempelajari suatu proses atau penemuan yang terjadi secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut.
  5. penelitian kualitatif mengutamakan MAKNA. Penelitian kualitatif yang mengutamakan kepada bagaimana orang mengartika hidupnya. Dalam arti/pengertian PARTICIPANT PERSPECTIVE. Makna yang diungkap berkisar pada asumsi-asumsi apa yang dimiliki orang mengenai hidupnya (Nana & Ibrahim, 2001: 198-200)

 

HAKIKAT PENELITIAN KUALITATIF – KUANTITATIF DAN TINDAKAN

Penelitian

Oleh Pilipus Kopeuw

Jogja, 15 September 2009

 

1. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berguna untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentaase dan merata yang kurang mewakili keseluruhan fenomena. Dari penelaitian kualitatif tersebut, data yang diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relative banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritis, dan mengklasifikasikan yanglebih menarik melalui penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif, awalnya beraasal dari sebuah pengamatan pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif (Suwardi Endraswara, 2006:81).

Menurut Brannen (1997:9-12), secara epistemologis memangada sedikit perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif selalu menentukan data dengan variabel-veriabel dan kategori ubahan, penelitian kualitatif justru sebaliknya. Perbedaan penting keduanya, terletak pada pengumpulan data. Tradisi kualitatif, peneliti sebagai instrument pengumpul data, mengikuti asumsi cultural, dan mengikuti data.

Penelitian kualitatif (termasuk penelitian historis dan deskriptif)adalah penelitian yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif. Penelitian kualitatif mencakup berbagai pendekatan yang berbeda satu sama lain tetapi memiliki karakteristik dan tujuan yang sama. Berbagai pendekatan tersebut dapat dikenal melalui berbagai istilah seperti: penelitian kualitatif, penelitian lapangan, penelitian naturalistik, penelitian interpretif, penelitian etnografik, penelitian post positivistic, penelitian fenomenologik, hermeneutic, humanistik dan studi kasus. Metode kualitatif menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti transkrip wawancara terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan artefak lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Hal ini dilakukan karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial dan institusional. Sehingga pendekatan kualitatif umumnya bersifat induktif.

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.

2. Penelitian Kuantitatif

Kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).

Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.

Menurut August Comte (1798-1857) menyatakan bahwa paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).

Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi (Edmund Husserl  1859-1926).

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif.

Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya,  cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.

Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization) Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai  adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.

 

3. Penelitian Tindakan

Merupakan proses yang dilalui oleh perorangan atau kelompok yang menghendaki pembahasan dalam situasi perilaku, atau organisasi termasuk struktur, mekanisme kerja dan iklim kerja.

Penelitian tindakan merupakan suatu proses yang dilalui oleh perorangan atau kelompok yang menghendaki perubahan dalam situasi tertentu, dengan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif, yang diharapkan akan memecahkan masalah yang dihadapi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Tamrin Amal Tomagola, “Dasar-dasar Filosofis Positivisme”, makalah pada Pelatihan Penelitian Tenaga Edukatif IAIN se-Indonesia, Jakarta, h 1

 

Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: YA3, 1990), h. 13.

 

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Thousand Oaks: SAGE Publications, 1994), p. 99.

 

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h. 116.

 

Husserl Edmund, Makna Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: 1859-1026)